Laman

Rabu, 30 Juni 2010

teori-teori kebudayaan dan etnopsikiatri

A. Teori Pembawaan Manusia
1. Seksualitas anak-anak, termasuk Oedipus Complex dari Sigmund Freud
Menurut Freud perhatian seorang anak terhadap tiga daerah erotic (mulut, anal, dan genital) terjadi secara bertahap:
• Tahap oral : bagi bayi yang baru lahir, alat yang paling memberi kenikmatan adalah mulutnya sendiri.
• Tahap anal
• Tahap phallic
• Tahap genital : dimulai dari sejak 3 tahun, yaitu pada saat perhatiannya berpusat pada lingam (alat genital) sendiri, dan perhatian ini segera menimbulkan rasa birahi terhadap ibunya sendiri, dan dibarengi dengan timbulnya rasa cemburu dan benci kepada ayahnya, yang terasa sebagai saingannya terhadap cinta ibu, gejala tersebut terkenal dengan istilah Oedipus Complex.
• Tahap laten : selama periode ini seksualitas si anak boleh dikatakan “tidur” atau berhenti secara kualitatif, dan akan berlangsung terus sampai tibanya akil baligh.
2. Teori Gejala Masalah Akil Baligh (Margaret Mead)
 Menurut hasil penelitian, Mead berkesimpulan bahwa para gadis di Samoa tidak mengalami gejala akil baligh, karena keluarga orang samoa buka termasuk keluarga inti, sehingga seorang anak tidak selalu harus berhubungan terus-menerus dengankedua orangtuanya, tetapi juga mendapat kesempatan untuk berhubungan secara bebas dengan anggota kerabatnya yang lain.
 Penelitiannya di Papua, Mead berkesimpulan bahwa perbedaan sifat-sifat kepribadian atau temperamen antar laki-laki dan wanita tidak bersifat universal, karena dalam kebudayaan Arapesh tidak ada perbedaan temperamen antar laki-laki dan perempuan, keduanya mempunyai kepribadian yang halus, lembut, dan pasif. Sebaliknya pada masyarakat Mundugumor, kedua jenis kelamin mempunyai kepribadian yang kasar, keras, dan agresif seperti yang dimiliki laki-laki pada umumnya masyarakat Eropa-Amerika. Pada masyarakat Tchambuli, kaum wanita pada umumnya berkepribadian kasar, keras, dan aktif, dan melaksanakan tugas berat, sedangkan laki-laki sebaliknya.
3. Teori Pola Kebudayaan Ruth Benedict
Teori Pola Kebudayaan (Pattern of Culture) dapat juga disebut sebagai teori konfigurasi kebudayaan, teori mozaik kebudayaan, teori representation colletive, atau teori etos kebudayaan.
Teori benedict dapat diringkas sebagai berikut: “Di dalam setiap kebudayaan ada aneka ragam tipe temperamen, yang telah ditentukan oleh faktor keturunan (genetic) dan kebutuhan (konstitusi), yang timbul berulang-ulang secara universal. Namun setiap kebudayaan hanya memperbolehkan jumlah terbatas dari tipe temperamen tersebut berkembang. Dantipe-tipe temperamen tersebut hanya yang cocok dengan konfigurasi dominan. Mayoritas dari orang-orang dalam segala masyarakat akan berbuat sesuai terhadap tipe dominan dari masyarakatnya. Hal ini disebabkan karena temperamen mereka cukup plastis untuk dibentuk tenaga pencetak dari masyarakat. Ini adalah apa yang disebut tipe kepribadian normal.
Benedict berpendapat bahwa tidak ada kriteria yang shahih(valid) mengenai tipe kepribadian “normal” dan “abnormal”. Suatu kepribadian dianggap normal apabila sesuai dengan tipe kepribadian yang dominan, sedangka tipe kepribadian yang sama jika tidak sesuai dengan kepribadian yang dominan akan dianggap abnormal alias tidak normal atau penyimpangan (derivant).
4. Teori Kepribadian Ralph Linton
Kepribadian status adalah seperangkat kepribadian tipikal yang sesuai dengan status seseorang di dalam masyarakatnya. Status tersebut berkaitan dengan pekerjaannya. Seorang pribadi yang menduduki status sosial harus mengembangkan sikap dan emosi yang sesuai dan berguna bagi status tersebut.
Pribadi-pribadi yang dapat membawakan kepribadian statusnya dengan baik dan tepat, adalah orang yang penyesuaian dirinya baik.
5. Teori Kepribadian Orang Modern Alex Inkeles
Menurut ia tujuan utama pembangunan ekonomi adalah memungkinkan setiap orang untuk mencapai suatu taraf hidup yang layak. Namun pada akhirnya ide pembangunan mengharuskan adanya perubahan watak manusia—suatu perubahan yang merupakan alat untuk mencapai tujuan yang berupa pertumbuhan yang lebih lnjut lagi, dan bersamaan itu juga merupakan tujuan besar proses pembangunan itu sendiri. Perubahan watak tersebut adalah perubahan dari yang tradisional menjadi yang modern.
Apa yang dimaksud dengan manusia modern itu? Dan apa yang membuatnya modern?
o Pertama, peerubahan dari manusia yang leih tradisional menjadi manusia yang modern, seiring berarti melepaskan cara berfikir dan berperasaan.
o Kedua, sifat yang membuat seorang menjadi modern itu tidak sering tampak sebagai suatu ciri yang netral, tetapi merupakan ciri dari orang barat pada umumnya yang hendak dipaksakan pada orang lain, untuk menjadikan mereka sama seperti orang barat tersebut.
o Ketiga, tidak berguna atau cocok bagi kehidupan dan keadaan dari mereka.
Ciri khas orang modern ada dua, yaitu:
 Pertama ciri luar, mengenai lingkungan alam. Seperti;URBANISASI, PENDIDIKAN, politikasi, komunikasi massa dan industrialisasi.
 Kedua ciri dalam, yaitu mengenai sikap, nilai dan perasaan. Seorang baru dapat menjadi modern apabila telah mengalami perubahan ciri dalam, dari yang tradisional menjadi modern.


1. Pengertian Etnopsikiatri
Bermula dari pemahaman atas hubungan antara kepribadian dan kekuatan-kekuatan budaya yang berpengaruh dan membentuk kepribadian. Perhatian pertama ditujukan untuk menguji hipotesis Freud, untuk menentukan apakah Oedipus Kompleks itu bersifat universal, apakah fase-fase perkembangan oral, anal, genital, dan laten dalam sejarah kehidupan individu bersifat universal ataukah hanya terbatas pada masyarakat-masyarakat khusus. Walaupun Malinowski pada tahun 1920-an, merupakan ahli antopologi pertama yang menguji hipotesis tersebut dengan data lapangan yang besar jumlahnya, apa yang dinamakan aliran “kebudayaan dan kepribadian”—langkah pertama dari perkembangan yang kini dikenal sebagai etnopsikiatri atau psikiatri lintas-budaya, memperoleh bentuknya di Amerika Serikat.
Dalam berbagai studi dari tahun 1930-an hingga tahun 1950-an, penting untuk diingat bahwa perhatian utama peneliti bukanlah menegnai masalah kini—mengenai normal dan abnormal, definisi penyakit mental, dan sebagainya—namun lebih merupakan masalah “struktur kepribadian dasar” (menggunakan istilah Kardiner) dan “kepribadian moral” (menggunakan istilah DuBois). Istilah-istilah etnopsikiatri, psikiatri lintas budaya, dan psikiatri transkultural belumlah dikenal. Namun dari penelitian sebelum dan sesudah Perang Dunia yang dilakukan oleh Kardiner, Linton, DuBois dan lain-lainnyalah maka perhatian sekarang ini terhadap hubungan antara penyakit mental dengan kebudayaan telah timbul.

2. Definisi Budaya Tentang Normal dan Abnormal
a. Kasus “Teori Label”
Argumen yang ditemukan adalah bahwa sekali tingkah laku menyimpang diberi cap menyimpang, betapapun ringannya atau sementaranya gejala itu, akan tetap dijadikan stereotip atau stigma bagi yang bersangkutan.
Realitas dan bahaya yang timbul dari cara-cara pemberian label tersebut dideskripsikan secara mengerikan melalui suatu eksperimen yang dilakukan oleh Rosenhan. Ia bersama tujuh orang pasien semu lainnya mendaftar masuk rumag sakit jiwa yang tempatnya berbeda.
Rosenhan menyimpulkan bahwa “Suatu label psikiatri mempunyai kehidupan dan pengaruh tersendiri. Sekali terbentuk impresi bahwa pasien menderita schizoprenia, harapan orang adalah bahwa ia akan selamanya demikian.”

b. Argumentasi Terhadap Pemberian Label
Edgerton misalnya, tidak menyukai label psikiatri yang bersifat menentukan sendiri, untuk mengidentifikasikan sakit. Ia beranggapan bahwa kelompoklah, bukan cap itu yang menetapkan pengertian abnormalitas. Pengakuan dan penamaan penyakit jiwa, menurut pendapatnya, merupakan produk dari suatu proses “negosiasi”, suatu transaksi sosial yang mencakup konsensus ekstensif dalam masyarakat.

3. Etiologi-Etiologi Penyakit Jiwa Non-Barat
Berdasarkan contoh dari masyarakat Yoruba, Navaho, dan orang eskimo di Pulau St. Lawrence tersebut jelaslah bahwa etiologi dari banyak penyait jiwa dapat dipahami hanya apabila konteks sosialnya yang merupakan pencetusnya dipelajari—pengetahuan sering diperoleh melalui proses eliminasi.

4. Cara-Cara Budaya Dalam Menangani Penyakit Jiwa
 Siapa yang menyembuhkan ?
Para ahli antopologi terutama menaruh perhatian pada ciri-ciri psikologis dan sosial dari para shaman. Berasal dari bahasa Tungus, Siberia, istilah tersebut digunakan dalam arti umum tentang penyembuh yang memiliki kekuatan-kekuatan supranatural dan kontak dengan roh-roh, biasanya melalui pemilihan oleh para roh (misalnya kemasukan pertama kalinya yang menimbulkan penyakit yang gawat dan diikuti dengan penyembuhan yang lama).
 Perawatan terhadap orang yang sakit jiwa
 Tujuan perawatan
Perawatan dalam terapi Barat berkisar dari pengobatan simptomatik,dari hal-hal seperti gerakan-gerakan tics dan fobia sampai “pembongkaran besar-besaran kepribadian pasien” (J.Kennedy 1973 : 1174). Terapi barat dalam arti tertentu, adalah redukasi;pasien didorong untuk mengembangkan suatu pandangan baru tentang dirinya sendiri dengan harga diri yang lebih besar, agar ia bebas rasa sakit subjektif.
Sebaliknya,para ahli-ahli terapi non-barat sedikit sekali melakukan redukasi, memperkuat ego, dan modifikasi kepribadian. Mereka lebih pragmatis dalam pendekatannya, bertujuan untuk mendapatkan hasil yang cepat, yang berarti pengurangan atau penghapusan gejala-gejala abnormal yang dibawa pasien kepadanya.
Perbedaan lainnya adalah apabila hubungan verbal antara ahli terapi dengan pasien merupakan dasar bagi perawatan terapi barat, maka pada bagian terbesar masyarakat non-barat, banyak komunikasi verbal yang berlangsung adalah dengan roh-roh, dan bila melibatkan pasien secara langsung, komunikasi itu ditujukan kepadanya dan tidak memerlukan suatu jawaban.
Walaupun ada berbagai perbedaan dan tipuan yang oleh para pengobat barat dianggap mendasari psikoterapi non-Barat, banyak ahli antropologi dan ahli terapi barat menenmukan bahwa para shaman dan para penyembuh tradisional lainnya sering encapai hasil-hasil yang menakjubkan dalam menangani penyakit jiwa.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar