Laman

Rabu, 30 Juni 2010

tafsir dimensional manusia

PEMBAHASAN
1. Q.S. Ar-Rum:20-21



Pada ayat ini Allah menarik perhatian manusia kepada keadaan yang berada disekelilingnya, sejak dari dirinya sendiri sampai kepada pergaulannya di tengah bangsa-bangsa. Dengan memperingatkan adanya tanda-tanda kebesaran Allah ini, sampailah manusia kepada kesimpulan tentang pasti adanya Maha Pencipta, Maha pengatur, Maha Bijaksana, Maha Perkasa disertai Maha Pengasih dan Maha penyayang.
”Kemudian tiba-tiba kamu (menjadi) manusia yang berkembang biak.” Jadi, asal kita adalah dari tanah, kemudian dari air mani, lalu menjadi segumpal darah, dan menjadi tulang yang kemudian tulang-tulang itu dibungkus dengan daging, kemudian ditiupkan kedalamnya ruh, sehingga menjadi makhluk yang dapat mendengar dan melihat.
Begitulah asal mula manusia itu bertebaran dimuka bumi ini, manusia berkembang biak dimuka bumi ini, ada yang berlayar dari pulau ke pulau, ada yang menjadi ahli fikir terbesar dan ahli filsafat, ada manusia yang baik dan buruk, ada yang kaya dan miskin. Namun dia, manusia berkembang biak terus menerus dimuka bumi.
Kemudian Allah berfirman pada ayat berikutnya:


Kemudian pada ayat ini (Q.S. Ar-Rum:21), Allah SWT menjelaskan bahwa diantara tanda-tanda kebesaran-Nya, Dia menciptakan istri-istri bagi kaum laki-laki dari diri mereka sendiri, artinya dari bahan sejenis, yaitu air mani. Tidak seperti manusia pertama, yang diciptakan dari tanah, dan istrinya diambilkan dari bagian badannya.
Firman Allah yang artinya: ”Dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri” adalah sebagai penegasan bahwa pada hakikatnya manusia adalah satu atau sama, sekalipun berbeda warna kulit dan kebangsaannya. Dalam Surat An Nisa ayat 1 ditegaskan pula bahwa manusia diciptakan dari jenis yang sama, karena nantinya akan dipasangkan satu sama lainnya, dan tidaklah mungkin manusia dipasangkan dengan binatang. Kemudian, Allah mempertemukan dan menjodohkan laki-laki dan perempuan, agar mereka menjadi tenang dan tenteram. Maka, sangatlah aneh, bila laki-laki menikah dengan laki-laki, perempuan menikah dengan perempuan, padahal tujuan utama dalam pernikahan adalah untuk melestarikan dan meneruskan adanya keturunan, disamping terciptanya ketenangan dan ketentraman.
Akhirnya ayat tersebut, ditutup dengan firman-Nya yang artinya sebagai berikut: ”Sungguh, pada yang demikian itu, benar-benar terdapat tanda-tanda (kebesaran Allah) bagi kaum yang berfikir”. Allah SWT menyuruh kita berfikir ulang. Betapa sedihnya jika manusia tidak mempunyai rasa kasih sayang, betapa sedihnya jika tidak ada syariah yang mengatur kehidupan dalam bermasyarakat, niscaya akan timbul perpecahan, pertikaian, bahkan permusuhan yang akan mengakibatkan terjadinya pembunuhan.
2. Q.S. AL ISRAA: 70


Setelah menggambarkan anugerah-Nya ketika berada di laut dan di darat, baik terhadap yang taat maupun yang durhaka, ayat ini menjelaskan sebab anugrah itu, yakni karena manusia adalah makhluk unik yang memiliki kehormatan dalam kedudukannya sebagai manusia, baik ia beragama ataupun tidak. ”Dan sesungguhnya telah Kami muliakan Anak-Anak Adam itu.” (pangkal ayat 70). Banyak sekali kemuliaan yang diberikan kepada anak Adam. Yang terutama ialah diberi akal dan pikiran.
”Dan kami lebihkan mereka daripada kebanyakan makhluk Kami, dengan sebenar-benar kelebihan” (ujung ayat 70). Sebenar-benar kelebihan itu dapat dilihat pada kemajuan hidup manusia, bertambah lama bertambah maju, dari gua batu sampai bertani, menangkap ikan dan sampai berniaga dari pulau ke pulau, benua ke benua dan sampai terbang di udara menyelam di laut, dan di zaman mutakhir ini telah sampai ke bulan.
Mengenai harkat manusia , bila bersifat spiritual dan diperoleh bersama dengan Allah, maka harkat seperti itu merupakan milik eksklusif orang-orang bijak. Al-Quran mengatakan ”Sesungguhnya yang paling mulia diantaramu adalah orang-orang yang paling bertakwa.” (QS.AL-HUJURAT:13).
Yang dimaksud karrama dalam ayat diatas barangkali adalah kedua dari keutamaan manusia. Kehormatan manusia terletak pada penciptaan, kecerdasan, akal, dan bakatnya. Juga dikarenakan dirinya memiliki hukum-hukum tuhan, kepemimpinan para imam maksum, dan bahwa para malaikat bersujud padanya.
3. Q.S. AL-A’RAAF: 31


Ayat ini mengajak sekalian kaum adam atau manusia untuk memakai pakaian yang menutupi aurat minimal. Baik di dalam maupun di luar mesjid. Masjid dalam artian bangunan khusus, atau arti yang luas yaitu bumi Allah. Dan, makanlah makanan yang halal dan baik. Serta minumlah apa saja yang kamu sukai selama itu tidak memabukkan dan juga tidak menggangu kesehatan. Dan janganlah berlebih-lebihan dalam segala hal, terutama dalam beribadah dengan menambahkan rukun-rukunnya. Demikian juga dalam hal makanan dan minuman atau apa saja. Karena Allah tidak menyukai, yakni tidak melimpahkan rahmat dan pengajarannya bagi orang-orang yang berlebih-lebihan dalam hal apapun.
Pada buku Ibnu Kutsir, ayat ini merupakan bantahan terhadap kaum musyrikin yang melakukan thawaf di Baitullah sambil telanjang secara sengaja. Maka Allah berfirman ”Hai anak Adam, pakailah perhiasanmu setiap kali masuk masjid”. Yang dimaksud dengan perhiasaan disini adalah pakaian yang menutupi aurat. Berdasarkan ayat ini dan sunnah yang semakna dengan ayat itu, maka disunatkan untuk mempercantik setiap kali akan melakukan sholat.
Penggalan akhir ayat ini merupakan salah satu prinsip yang diletakkan agama menyangkut kesehatan dan diakui pula oleh para ilmuan terlepas apapun pandangan hidup agama mereka.
Perintah makan dan minum, lagi tidak berlebih-lebihan, yakni tidak melampaui batas, merupakan tuntutan yang harus disesuaikan dengan kondisi setiap orang. Ini karena kadar tertentu yang dinilai cukup untuk seseorang,boleh jadi telah dinilai melampaui batas atau belum cukup untuk orang lain. Atas dasar itu kita dapat berkata bahwa penggalan ayat tersebut mengajarkan sikap proporsional dalam makan dan minum.

TINJAUAN PSIKOLOGI

Manusia sebagai makhluk tuhan yang istimewa, yang menyandang gelar sebagai khalifah allah di atas muka bumi yang diciptakan Tuhan melebihi dari makhluk-makhluk yang lainnya. Al-Quran menjelaskan bahwa manusia diciptakan dari tanah kemudian setelah sempurna kejadiannya, Tuhan menghembuskan kepadanya ruh ciptaannya. Dengan tanah manusia dipengaruhi dengan kekuatan alam seperti makhluk-makhluk lain, sehingga butuh makan, minum, dll.
Potensi yang dimiliki manusia, yang diberikan Allah SWT adalah:
• Manusia mengetahui nama-nama dan fungsi benda-benda alam
• Manusia mempunyai derajat yang sangat tinggi sebagai khalifah Allah
• Manusia dapat mengadakan hubungan dan mengenal Tuhan
• Manusia memiliki akal sebagai kemampuan khusus karena dengan akal tersebutlah manusia dapat mengembangkan ilmunya.
Secara ringkas, dimensional manusia menurut:
 Hakikatnya adalah :
a. Sebagai makhluk biologis
b. Sebagai makhluk pribadi
Al-Quran menerangkan bahwa manusia mempunyai potensi akal untuk berfikir secara rasional dalm mengarahkan hidupnya kearah maju dan berkembang. Dimana ia memiliki kesadaran diri dan memiliki kebebasan untuk menentukan pilihan serta tanggung jawab.
c. Sebagai makhluk sosial
Manusia membutuhkan keterlibatan untuk menjalin hubungan dengan sesamanya, yaitu silaturahmi.
d. Sebagai makhluk religius
Manusia lahir sudah membawa fitrah, yaitu potensi nilai-nilai keimanan dan kebenaran hakiki.
 Fisiknya adalah :
Sebagai pribadi sehat, yaitu pribadi yang mampu mengatur diri dalam hubungannya dengan :
a. Diri sendiri
Yaitu dengan mengendalikan dorongan nafsu dan memiliki kebebasan yang bertanggung jawab.
b. Orang lain
Yaitu dengan bersikap saling memberi dan menerima (tolong-menolong).
c. Lingkungan
Yaitu pribadi yang memiliki rasa peduli, menjaga, dan memelihara kelestarian lingkungannya.
d. Allah SWT
Yaitu pribadi yang selalu meningkatkan keimanannya, yang dibuktikan dengan melaksanakan ibadah dengan benar dan ikhlas serta menjalankan segala perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya.



KESIMPULAN

Allah SWT sebagai sang pencipta jagad raya ini, ingin menunjukkan kepada manusia, betapa Allah SWT adalah sang pencipta yang sangat sempurna karena Dia menciptakan manusia dari tanah.
”Dan Kami telah menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya.” (Q.S. At-Tin:4)
Sebagai manusia yang pertama kali diciptakan, Nabi Adam as. Membutuhkan seorang pendamping yang dapat menentramkan hati dan menyejukkan jiwa, maka diciptakanlah Siti Hawa dari tulang rusuk beliau.
Pada tahap pencitaan manusia selanjutnya, Allah SWT tidak lagi membentuk tanah liat dan meniupkan ruh kedalamnya, melainkan melalui hubungan biologis 2 manusia pertama yaitu Nabi Adam dan Siti hawa.
Allah SWT telah menjelaskan tahapan-tahapan yang dilalui seorang manusia sebelum dilahirkan ke dunia ini, sebagaimana yang telah disebutkan dalam Al-Quran surat Al-Mu’min: 12-14.
Allah SWT juga menjelaskan dimensi waktu yang dilalui manusia selama hidup di alam fana ini. Allah SWT berfirman:
“kemudian Kami keluarkan kamu sebagai bayi, Kemudian (dengan berangsur-angsur)kamu sampailah kepada kedewasaan, dan diantara kamu ada yang diwafatkan dan (adapula) diantara kamu yang dipanjangkan umurnya sampai pikun, supaya dia tidak mengetahui lagi sesuatupun yang dahulunya telah diketahuinya.” (Al-Hajj:5)
Secara garis besar, fase perkembangan dan dimensi waktu yang dilalui seorang manusia adalah:
Tanah (saripati makanan) – air mani – segumpal darah – segumpal daging – tulang belulang – dibungkus lagi dengan daging dan kulit – jadilah seorang bayi – dewasa – tua – wafat.

tafsir

BAB II
PEMBAHASAN

Q.S. Ar-Rum: 20-21
Pada ayat ini Allah menarik perhatian manusia kepada yang berada di sekelilingnya, sejak dari dirinya sendiri sampai kepada pergaulannya di tengah bangsa-bangsa. Dengan memperingatkan adanya tanda-tanda kebesaran Allah ini, sampailah manusia kepada kesimpulan tentang pasti adanya Maha Pencipta, Maha Pengatur, Maha Bijaksana, Maha Perkasa disertai Maha Pengasih dan Maha Penyayang.
“Kemudian tiba-tiba kamu (menjadi) manusia yang berkembang biak”. Jadi, asal kita adalah dari tanah, kemudia dari air mani, lalu menjadi segumpal darah, dan menjadi tulang yang kemudian tulang-tulang itu dibungkus dengan daging, kemudian ditiupkan ke dalamnya ruh, sehingga menjadi mahluk yang dapat mendengar dan melihat.
Begitulah asal mula manusia tu bertebaran di muka bumi ini, manusia berkembang biak di muka bumi ini, ada yang berlayar dari pulau ke pulau, ada yang menjadi ahli ukur terbesar dan ahli filsafat, ada manusia yang baik dan buruk, ada yang kaya dan miskin. Namun dia, manusia berkembang biak terus menerus di muka bumi.
Kemudian Allah berfirman pada ayat yang berikutnya:
Q.S. Ar-Rum 21
Kemudian pada ayat ini (21 surat Ar-Rum), Allah SWT menjelaskan bahwa diantara tanda-tanda kebesaran-Nya, Dia menciptakan istri-istri bagi kaum laki-laki dari diri mereka sendiri, artinya dari bahan yang sejenis, yaitu dari air mani. Tidak seperti manusia pertama, yang diciptakan dari tanah, dan istrinya diambilkan dari bagian badannya. Pada surat Sajadah (32) ayat 7 dan 8, ditegaskan bahwa yang diciptakan langsung dari tanah hanyalah manusia pertama, sedang keturunannya diciptakan dari air mani.
Firman Allah yang artinya: “Dia menciptakan untukmu istri-istri dari jenismu sendiri” adalah sebagai penegasan bahwa pada hakikatnya manusia adalah satu atau sama, sekalipun berbeda warna kulit dan kebangsaannya. Dalam surat An-Nisa ayat 1 ditegaskan pula bahwa manusia diciptakan dari jenis yang sama, karena nantinya akan dipasangkan satu dengan lainnya, dan tidaklah mungkin manusia dipasangkan dengan binatang. Kemudian, Allah mempertemukan dan menjodohkan laki-laki dengan perempuan, agar mereka menjadi tenang dan tentram. Maka, sangatlah aneh, bila laki-laki menikah dengan laki-laki, erempuan menikah dengan perempuan, padahal tujuan utama dalam pernikahan adalah untuk melestarikan dan meneruskan adanya keturunan, di samping terciptanya ketenangan dan ketentraman.
Akhirnya ayat tersebut, ditiup dengan firman-Nya yang artinya sebagai berikut: “Sungguh, pada yang demikian itu, benar-benar terdapat tanda-tanda (kebesaran Allah) bagi kaum yang berpikir”. Allah SWT menyuruh kita berpikir ulang. Betapa sedihnya jika manusia tidak mempunyai rasa kasih saying, betapa sedihnya jika tidak ada syari’ah yang mengatur kehidupan dalam masyarakat, niscaya akan timbul kekerasan, pertikaian, bahkan permusuhan yang mengakibatkan pembunuhan.

Q.S. Al-Israa: 70
Setelah menggambarkan anugerah-Nya ketika berada di laut dan di darat, baik terhadap yang taat maupun yang durhaka, ayat ini menjelaskan sebab anugerah itu, yakni karena manusia adalah mahluk unik yang memiliki kehormatan dalam kedudukannya sebagai manusia, baik ia taat beragama maupun tidak.
“Dan sesungguhnya telah kami muliakan Anak-anak Adam itu” (pangkal ayat 70). Banyak sekali kemuliaan yang diberikan kepada anak Adam. Yang terutama ialah diberik akal dan fikiran.
“Dan kami lebihkan mereka daripada kebanyakan mahluk Kami dengan sebenar-benar kelebihan” (ujung ayat 70). Sebenar-benar kelebihan itu dapat dilihat pada kemajuan hidup manusia, bertambah lama bertambah maju, dari gua batu sampai bertani, menangkap ikan dan sampai berniaga dari pulau ke pulau, benua ke benua dan sampai terbang di udara menyelam di laut dan di zaman mutakhir ini telah mencapai bulan.
Mengenai harkat manusia, bila bersifat spiritual dan diperoleh bersama dengan Allah, maka harkat seperti itu merupakan milik eksklusif orang-orang bajik. Al-Quran mengatakan “Sesunguhnya yan paling mulia diantaramu adalah orang yang paling bertaqwa” (QS. Al-Hujurat: 13).
Yang dimaksud karrama dalam ayat di atas barangkali adalah kedua dari keutamaan manusia. Kehormatan manusia terletak pada penciptaan, kecerdasan, akal dan bakatnya. Juga dikarenakan dirinya memiliki hukum-hukum Tuhan, kepemimpinan para imam maksum, dan bahwa malaikat bersujud padanya.

Q.S. Al-A’Raaf: 31
Ayat ini mengajak sekalian kaum adam atau manusia untuk memakai pakaian yang menutupi aurat minimal. Baik di dalam maupun di luar masjid. Masjid dalam artian
Bangunan khusus, atau arti yang luas yaitu bumi Allah. Dan, makanlah makanan yang halal dan baik. Serta minumlah apa saja yang kamu sukai selama itu tidak memabukkan dan juga tidak menganggu kesehatan. Dan janganlah berlebih-lebihan dalam segala hal, baik dalam beribadah dengan menambahkan rukun-rukunnya. Demikian juga dalam hal makanan dan minuman atau apa saja. Karena Allah tidak menyukai, yakni tidak melimpahkan rahmat dan pengajarannya bagi orang-orang yang berlebih-lebihan dalam hal apapun.
Pada buku Ibnu Kutsir, ayat ini merupakan bantahan terhadap kamu musyrikin yang melakukan tawaf di Baitullah sambil telanjang secara sengaja. Maka Allah berfirman “Hai anak Adam, pakailah perhiasanmu setiap kali masuk masjid”. Yang dimaksud dengan perhiasan disini adalah pakaian yang menutupi aurat. Berdasarkan ayat ini dan sunnah yang semakna dengan ayat itu, maka disunatkan untuk mempercantik diri setiap kali akan sholat.
Penggalan akhir ayat ini merupakan salah satu prinsip yang diletakkan agama menyangkut kesehatan dan diakui pula oleh para ilmuan terlepas apapun pandangan hidup atau agama mereka.
Perintah makan dan minum, lagi tidak berlebih-lebihan, yakni tidak melampaui batas, merupakan tuntunan yang harus disesuaikan dengan kondisi setiap orang. Ini karena kadar tertentu yang dinilai cukup untuk seseorang, boleh jadi telah dinilai melampaui batas atau belum cukup untuk orang lain. Atas dasar itu, kita dapat berkata bahwa penggalan ayat tersebut mengajarkan sikap proporsional dalam makan dan minum.

TINJAUAN PSIKOLOGI

Manusia sebagai mahluk Tuhan yang istemewa, yang menyandang gelar sebagai Khalifah Allah di atas muka bumi yang diciptakan Tuhan melebihi dari mahluk-mahluk yang lainnya. Al-Quran menjelaskan bahwa manusia diciptakan dari tanah kemudian setelah sempurna kejadiannya, Tuhan menghembuskan kepadanya ruh ciptaannya (Q.S. 38: 71-72). Dengan tanah manusia dipengaruhi dengan kekuatan alam seperti mahluk-mahluk lain, sehingga butuh makan, minum, dsb.

Potensi yang dimiliki manusia, yang diberikan Allah SWT adalah:
1. manusia mengetahui nama-nama dan fungsi benda-benda alam.
2. manusia mempunyai derajat yang sangat tinggi sebagai khalifah Allah.
3. manusia dapat mengadakan hubungan dan mengenal Tuhan.
4. manusia memiliki akal sebagai kemampuan khusus karena dengan akal tersebutlah manusia dapat mengembangkan ilmunya.
Secara ringkas, dimensional manusia menurut:
• Hakikatnya adalah:
1. Sebagai Mahluk Biologis
2. Sebagai Mahluk Pribadi
Al-Quran menerangkan bahwa manusia mempunyai potensial akal untuk berpikir secara rasional dalam mengarahkan hidupnya kearah maju dan berkembang. Dimana ia memiliki kesadaran diri dan memiliki kebebasan untuk menentukan pilihan secara tanggung jawab.
3. Sebagai Mahluk Sosial
Manusia membutuhkan keterlibatan menjalin hubungan dengan sesamanya, yaitu dengan silaturahmi.
4. Sebagai Mahluk Religius
Manusia lahir sudah membawa fitrah, yaitu potensi nilai-nilai keimanan dan kebenaran hakiki.

• Fisiknya adalah:
1. Sebagai Pribadi Sehat
Yaitu pribadi yang mampu mengatur diri dalam hubungannya dengan:
a. Diri Sendiri
Yaitu dengan mengendalikan dorongan nafsu dan memiliki kebebasan yang bertanggung jawab.
b. Orang lain
Yaitu dengan bersikap saling memberi dan menerima (tolong-menolong)
c. Lingkungan
Yaitu pribadi yang memiliki rasa peduli, menjaga, dan memelihara kelestarian lingkungannya.
d. Allah SWT
Yaitu pribadi yang selalu meningkatkan keimanannya, yang dibuktikan dengan melaksanakan ibadah dengan benar dan ikhlas serta menjalankan segala perintah-Nya dan menjauhi segala larangan-Nya.

BAB III
KESIMPULAN

Allah SWT sebagai sang pencipta jagad raya ini, ingin menunjukkan kepada manusia, betapa Allah SWT adalah sang pencipta yang sangat sempurna karena Dia menciptakan manusia dari tanah.

Sebagai manusia yang pertama kali diciptakan, Nabi Adam as. Membutuhkan seorang pendamping yang dapat menentramkan hati dan menyejukkan jiwa, maka diciptakanlah Siti Hawa dari tulang rusuk beliau.
Pada tahap penciptaan manusia selanjutnya, allah SWT tidak lagi membentuk tanah liat dan meniupkan ruh kedalamnya, melainkan melalui hubungan biologis 2 manusia pertama yaitu Nabi Adam dan Siti Hawa.
Allah SWT telah menjelaskan tahapan-tahapan yang dilalui seorang manusia sebelum dilahirkan ke dunia ini, sebagaimana yang telah disebutkan dalam Al-Quran surat Al-Mu’minun: 12-14
Allah SWT juga menjelaskan dimensi waktu yang dilalui manusia selama hidup di alam fana ini. Allah SWT berfirman:

Secara garis besar, fase perkembangan dan dimensi waktu yang dilalui seorang manusia adalah: Tanah (saripati makanan) – air mani – segumpal darah- tulang belulang – dibungkus lagi dengan daging dan kulit – jadilah seorang bayi – dewasa – tua – wafat.

jurnal psikologi sosial

REPRESENTATIONAL FLEXIBILITY IN THE SECOND YEAR OF LIFE : AN EXPLORATORY STUDY OF THE EYE TOY

Abstract

The ability to comprehend symbolic representations is deemed as an imperative property of human cognition in the midst of this symbol-flooded world. This study aimed to investigate the early development of this ability and its relation to self-recognition in the second year of life. I presented children with a novel video game (SONY PlayStation 2 Eye Toy or ET), in which child’s own image is incorporated in the game’s display. Using detailed observation of children’s responses to the experimental and control conditions, I investigated if they recognized this unusual symbol-referent relation. I also surreptitiously marked each child on their forehead to study if they recognized themselves in the video image (VSR).
The underlining assumption is that in order to pass the self recognition task, children should grasp basic correspondence of image-referent in the video reflection. Thus, those who passed the visual self-recognition task were hypothesized to also demonstrate better performance on the Eye Toy game than those who did not pass. To examine the consistency of this trend in the second year of life, I compared two groups of children from early and later part of this particular time span.
Participants consisted of 8,24-month-olds and 12,30-month-olds. Results revealed that there was no difference between older and younger children performance in both ET and VSR tasks. Although children did display some insight to the novel symbol- referent relation in the game, their performance in ET and VSR task was not related. Implications and suggestion for future research in this area are discussed in light of the new findings.

Introduction
Symbols play a prominent role in human modern environments. They have been a pervasive part of our everyday lives in various forms, ranging from words, pictures, gestures, number, etc (Park & Clements, 1995). The use of symbols has greatly benefited human society in terms of communication and learning (DeLoache & Smith, 1999; Park & Clements, 1995). Through symbols in literature, for example, we can acquire information about historical events and places without direct experience, thus expanding our learning opportunities.
A symbol can be defined as “something that someone intends to represent something other than itself” (DeLoache, 2004, p.66). In order to comprehend the meaning of particular symbol, we need to recognize the relationship between the symbol and what it represents, which is known as the referent (Park & Clements, 1995).
So how does this ability to understand symbols come about ? obviously children are not born into this world with an immediate ability to interpret and use symbols around them. The discrepancy between younger and older children’s understanding of symbol-referent relation implies that such ability develops though the lifespan
The child was presented with a novel video game, known as the Eye Toy (ET), on a PlayStation2. This game involves a live camera incorporating the child’s own image into the game’s display. Instead of a conventional joystick, the child’s body movements act as the input device to interact with the computer-generated stimuli (e.g. balloons, bubbles, sparkles, etc.) on the screen. Unlike touch-screen technology, the child does not manipulate the depicted stimuli by directly touching the screen. Instead, interaction occurs between the child’s depicted image and the stimuli on the screen. The trick of the game is that a child needs to use his or her own video image to guide his or her interaction with the computer-generated stimuli in the game.
The uniqueness of the ET game is reflected through the existence of computer-generated stimuli (virtual symbol) in the screen. These virtual symbols (e.g., balloons) co-exist with the child’s (live) image in the screen. While the child’s image is representing the child (self) in the current reality, the virtual symbols only exist in the screen and have no direct reference to current reality. In addition, the child through his or her reflection can also interact with these virtual symbols. This type of symbol-referent relation is considered novel because in previous experience with such pictorial representations (e.g., photos, pictures, television, videos), the current reality could not directly affect the symbols (Pierroutsakos & Troseth, 2003; Troseth, 2003; Troseth & DeLoache, 1996).
In order to play with this novel game, children are required to have some understanding about their depicted self and also about the virtual symbol. There are two ways in which a child may perform as if he or she understands a symbol. The child could either be trained or conditioned to respond, or the child has insight into the symbol-referent relation. Therefore, the ability to play with a novel game carrying an unusual symbol-referent relation, such the Eye Toy, can only be done, at least initially by having a representational insight.

Research Question
The present study aims to assess children’s understanding of symbol or external representation by applying a new experimental approach. A unique and novel symbol-referent relation in ET was presented to the child. We know that adults and older children had no difficulty to understand and play with such technology. However, we are interested in how younger children will respond to a novel symbol-referent relation with which they had no prior experience.
In addition to having an insight to the novel symbol-referent relations in the game, children also need to use their image as a guide or proxy for the interaction. This requires children to correctly infer the identity of reflection, an ability which is labeled as self-recognition (Gallup, 1997).
Hence, we will first use external representations to assess children’s representational ability and then we will explore the extent to which their performance in the representational task (ET) reflects their self-recognition ability as a measured by video self-recognition task (VSR).

Visual Self-recognition
The self-recognition test involves unobtrusive application of rouge or mark to facial features visually inaccessible without a mirror (Gallup, 1979). In order to pass this test, children need to use the external representation of self, which is expressed in forms of mirror reflection or video image, to gain ‘new’ information about the referent (the presence of a mark or sticker) and guide the retrieval behaviour. If this is the case, we would expect that the so called ‘self recognition’ ability will be dependent on children’s representational capacity.
The main difference from the traditional version is the use of video reflection instead of mirror reflection. This medium alteration is seen as crucial considering the direct comparison that will be made with the following representational task (ET) which also uses video technology.
Based on previous findings (Amsterdam, 1972; Johnson, 1983; Gallup, 1977), children’s reaction towards reflections can be categorized into two clusters of behaviors: mirror directed behavior and self-directed behavior. Most children under two years of age treat their reflection as if it was another person (Johnson, 1983). They reach toward the mirror, look behind it, and try to manipulate their own reflection. These behaviors are categorized as mirror-directed behavior, which according to Perner (1991) reflects child’s inability to detect the correct relation between symbol and referent.
The second category of behavior, which normally appears during second year of life, is known as (mirror-mediated) self-directed behavior (Johnson, 1983). This behavior is characterized by children’s use of mirror to guide behaviors directed to self. In particular, investigation of the mark on their own indicates that the child considers the reflection as being about him or herself (Perner, 1991; Zelazo et al., 1999).

Connecting Representational Ability and Visual Self-Recognition
This corresponding developmental trend between performances in the two tasks seems to support the Perner’s (1991) theory. Firstly, children’s performance in the search task and the self-recognition task could be attributed to the same basic mechanism shared by the two tasks, which is to identify the symbol-referent relation (Perner, 1991; Suddendorf, 1999). Secondly, the emergence of representational insight and self-recognition in the second year of life are expressions of the same capacity; secondary representation (Perner, 1991; Suddendorf & Whiten, 2001).

ET task and VSR task
In regards to similarity of symbol-referent mapping inside the task, the ET task is directly comparable to live video self-recognition (VSR) task. By formulating VSR in terms of symbol referent relation, it was evident that ET task and VSR task share the same conceptualization of video representation as a symbol and self as a referent. The fundamental difference between these two tasks, however, is their principal criterion. In the VSR, the sticker or mark exists in the children’s current reality. If children understand that the video image is referring to the self, then they can aim to retrieve the sticker by reaching to their own head (screen mediated self-directed behavior). On the contrary, the target stimuli (balloons and sparkles) of the ET task are nonexistent in the immediate reality. They exist only as symbols on the screen. Therefore, to manipulate these stimuli children need to monitor their screen reflection as a guide for their movement towards the stimuli (screen mediated object-directed behavior).
In this study, the ET task was always administered prior to VSR task to avoid any transfer effect to the ET performance. While there have been a lot of studies providing the data for children’s VSR performance, children’s performance on the ET task is investigated for the first time in this study. Thus, with such sequence arrangement, carry-over effect from VSR task can be controlled.
The symbol-referent relation in the ET task can be considered as bidirectional in nature. A symbol would normally contain information about the referent (e.g. child) in the real world, hence allowing the child to act upon the information (DeLoache, 2004). But with the ET the direction of relationship also goes the other way. The referent (self) can also affect the symbols in the virtual world (virtual stimuli) via its video representation. To fully grasp this notion bi-directional symbol-referent relation, children will need to demonstrate flexibility in understanding external representation.
This study presented two different tasks to children in their second year of life: the VSR and ET task. Three main hypotheses were tested. Firstly, we want to test whether children as young as 30 months old and 24 months old could understand the nature of symbol-referent relations behind the ET task. If 24 and 30 month-olds could link their actions to the virtual symbols in this ET task, then we hypothesized the older children would perform better on the ET task than the younger ones.
Secondly it was also predicted that older children would outperform younger children on the VSR task. Previous research suggested (Simcoc et al., 2004) that a majority of children pass this task by 30 months of age. Thirdly, we hypothesized that children who passed the VSR task would perform better in the ET task than those who failed the VSR task.

ET task
The eye toy test consisted of 8 consecutive 30s sessions forming a double-ABBA design. There was a 10s break between each session. These eight sessions were divided into two subtest based on the type of stimuli used; balloons and sparkles. In the balloons subtest, different color balloons are descending from the top to the bottom of the screen and children can interact with these balloons simply by touching them. Children also received the sparkles game, in which sparkling bright color appeared on the screen as a result of their movements.
Each subtest (balloons test or sparkles test) consisted of four sessions that alternated experimental condition and control condition in either BAAB or ABBA configurations. Within the control condition, the virtual stimuli are non-interactive, hence child’s movement will not inflict any effect to the stimuli.

VSR task
For the live video self-recognition test, the toddler was engaged in a distracting game so that the experimenter could surreptitiously affix a bright sticker to his or her forehead (randomly to the left or right fringe). After several trials (distracting game) the experimenter used praise as an opportunity to affix the sticker on the child’s forehead.
Performance in VSR test was rated as pass or fail. Similar to passing criteria in previous self-recognition study, participant passed the test by retrieving the sticker or reaching within 2 cm from the sticker during a 30 second time period when they are exposed to the live video feedback.

Discussion
Taken together, these results suggested that both younger and older children could discriminate between experimental and control condition in both sub-tests (balloons and sparkles). Not only that, but this difference in activity level across conditions also implied that children as young as 24 months of age could display an insight to the ET game.
There are several possible explanations to the VSR finding. Firstly, in this study we used the ET video camera, which has a lower picture resolution than normal digital or analogue video cameras used in another studies. Hence, children were exposed to a video representation of self in relatively poor quality, which may have increased the difficulty level to recognize the sticker.
Secondly, the VSR task was always administered after the ET task to avoid any transfer effect to the ET performance, which is our main interest. However, in turn there might have been a carry-over effect from the ET task to VSR task. In this sequence, children had to switch from a self-affecting-video (ET task) to a video-affecting-self (VSR task) relationship. Recognition might have been more difficult. Children with a flexible representation should be able to distinguish the different symbol-referent relations contained in each tasks. However, for those whose representational ability is still fragile, the sticker could be mistaken for another virtual stimulus that does not exist in reality. Consequently, they would display screen-directed behavior in the VSR task.
In contrast to our hypothesis, there was no evidence of relationship between ET and VSR task in the second year of life. Again, the predicted direction of relationship emerged although it was not significant. Two parsimonious explanations were provided. First, this result could be attributed to the carry-over effect in the VSR task. Secondly, in light if Suddendorf’s (1999) study which found significant relationship between surprise mark and surprise object ( a type of representational problem-solving task) task in 3 and 4-year-olds, it is possible that such relationship is not distinctive in the second year of life and only becomes distinct in the third and fourth year of life.
Finally, after evaluating the current results, a more conservative approach in theoretical level should be taken into consideration. Observing the simultaneous or nearly simultaneous emergence of several capacities in development should not necessarily be taken as strong evidence for the actual causal relations to some underlying process or to each other. The simultaneous emergence two accomplishments may well be a coincidence or be related to something much more general in development. In this context too much was made of the apparent correspondence between the development of VSR and understanding of symbol-referent relations. A problem exacerbated by emphasis being placed on the observation that as children get older they do better on measure of these abilities.

Conclusion
In conclusion, the present findings bring some implications to the research of VSR and representational insight. Interactive-computer technology (ET) was first introduced to examine the representational ability of children in the second year of life. The results revealed that there was no difference between 24-month-olds and 30-month-olds performance in the ET task. In addition, the difference in activity level across ET conditions was also observed, suggesting an evidence of insight. However, while it is clear the children were able to discriminate between experimental and control condition in ET task, it is not really clear whether representational insight fully accounts for this trend. The overall findings, however, suggested that there was no evidence of a relationship between self-recognition and representational ability, as measure by ET and VSR task, in the second year of life. Finally, the ability of ET task in this study to investigate children representational ability is far from convincing, hence future research is needed.

teori belajar kognitif

Teori belajar kognitif

1. Prinsip dasar teori belajar kognitif
Ada beberapa ahli yang belum merasa puas terhadap penemuan-penemuan para ahli sebelumnya mengenai belajar sebagai proses hubungan stimulus-respon-reinforcement. Mereka berpendapat, bahwa tingkah laku seseorang tidak hanya dikontrol oleh reward and reinforcement. Mereka ini adalah para ahli jiwa aliran kognitifis. Menurut pendapat mereka, tingkah laku seseorang senantiasa didasarkan pada kognisi, yaitu tindakan mengenal atau memikirkan situasi dimana tingkah laku itu terjadi. Dalam situasi belajar, seseorang terlibat langsung dalam situasi itu dan memperoleh insight untuk pemecahan masalah. Jadi, kaum kognitifis berpandangan, bahwa tingkah laku seseorang lebih bergantung kepada insight terhadap hubungan-hubungan yang ada didalam suatu situasi.
a. Awal Pertumbuhan Teori-Teori Belajar Psikologi Kognitif
Psikologi kognitif mulai berkembang dengan lahirnya teori belajar Gestalt. Peletak dasar psikologi Gestalt adalah Mex Wertheimer (1880-1943) yang meneliti tentang pengamatan dan problem solving. Sumbangannya ini diikuti oleh Kurt Koffka (1886-1941) yang menguraikan secara terperinci tentang hukum-hukum tentang insight pada simpanse.
Suatu konsep yang penting dalam Psikologi Gestalt adalah tentang ”insight” yaitu pengamatan atau pemahaman mendadak terhadap hubungan-hubungan antar bagian-bagian di dalam suatu situasi permasalahan. Insight itu sering dihubungkan dengan pernyataan spontan ”aha” atau ”oh, see-now”.
Kohler (1927) menemukan tumbuhnya insight pada seekor simpanse dengan menghadapkan simpanse pada masalah bagaiman memperoleh pisang yang terletak di luar kurungan atau tergantung di atas kurungan. Dalam eksperimen itu Kohler mengamati, bahwa kadangkala simpanse dapat memecahkan masalah secara mendadak, kadangkala gagal meraih pisang, kadangkala duduk merenungkan masalah, dan kemudian secara tiba-tiba menemukan pemecahan masalah.
Wertheimer (1945) menjadi orang Gestaltis yang mula-mula menghubungkan pekerjaannya dengan proses belajar di kelas. Dari pengamatannya itu ia menyesalkan penggunaan metoda menghafal di sekolah dan menghendaki agar murid belajar dengan pengertian bukan hafalan akademis.
Menurut pandangan Gestaltis, semua kegiatan belajar (baik pada simpanse maupun pada manusia) menggunakan insight atau pemahaman terhadap hubungan-hubungan, terutama hubungan antara bagian dan keseluruhan (Wasty Sumanto, 1998).
Mempromosikan pemahaman dan otomatisitas: sebuah strategi instruksional
Seperti dengan akuisisi pengetahuan deklaratif, pengetahuan prosedural dikembangkan dalam tiga tahap:
1. Memperkenalkan dan mengulang. Guru berusaha untuk menarik perhatian siswa dan meninjau kerja sebelumnya untuk memeriksa persepsi mereka dan membantu mereka dalam mengakses latar belakang pengetahuan dari memori jangka panjang.
2. Mengembangkan pemahaman. Guru membantu peserta didik memperoleh pengetahuan deklaratif tentang prosedur, menghubungkan pengetahuan ini dengan keahlian yang dipelajari, dan menyandikan pemahaman dalam memori jangka panjang.
3. Sediakan praktek. Siswa praktek, pertama di bawah pengawasan ketat dari guru (yang assosiative panggung) dan akhirnya pada mereka sendiri untuk mengembangkan secara otomatis.
Praktek: asosiatif dan tahap otomatis. Setelah siswa telah mengembangkan pemahaman tentang prosedur, mereka dapat mulai berlatih dengan bantuan guru tahap asosiatif praktek. Awalnya, guru menggunakan pertanyaan untuk menyediakan cukup perancah untuk memastikan sukses, tapi tidak terlalu banyak sehingga murid merasakan tantangan dan prestasi berkurang (gersten et al. 1999; Rosenshine & Meister, 1992).
Guru mengurangi perancah dan pergeseran tanggung jawab kepada siswa. Tujuannya adalah otomatisitas, jadi ruang memori kerja dapat ditujukan untuk aplikasi tingkat tinggi (Sweller et al, 1998).
Pekerjaan rumah. Ketika digunakan dengan tepat, hoework dapat membantu siswa mencapai otomatisitas (kaleng, Lindsya, Nye & Greathouse, 1998; Stein & Carnine 1999)
Penilaian dan pembelajaran: peran penilaian dalam kognitif intruction
Prinsip-prinsip teori belajar kognitif, bersama-sama dengan karakteristik informasi arsitektur kognitif pembelajar toko, proses kognitif dan metacognition memiliki dua implikasi tambahan bagi guru. Mereka adalah a. Penilaian harus menjadi bagian integral dari proses belajar mengajar dan, b. Instruksi harus selaras.
Penilaian dan instruksi
Penilaian guru dengan memberikan wawasan tentang bagaimana siswa memproses informasi. Karena latar belakang pengetahuan, keyakinan, dan harapan Cary, pembelajar persepsi tentang apa yang mereka pelajari juga bervariasi. Penilaian siswa dengan memberikan umpan balik yang memungkinkan mereka untuk memperbaiki dan meningkatkan kemampuan berpikir yang akhirnya meningkatkan jumlah yang mereka belajar.
Menempatkan pengolahan informasi dalam perspektif
Namun hampir semua keterangan tentang belajar kognitif termasuk yang mendukung prinsip bahwa leaners membangun pemahaman, menerima pengolahan informasi arsitektur, termasuk, sebagai contoh, terbatas kapasitas memori kerja memori jangka panjang, proses-proses kognitif yang memindahkan informasi dari satu toko ke toko lain dan mekanisme peraturan metacognition (Hunt & Ellis 1999, eh Mei 1998b; vSternberg, 1999; Sweller et al., 1998).
Psikologi kognitif mengatakan bahwa perilaku manusia tidak ditentukan oleh stimulus yang berada diluar dirinya, melainkan oleh faktor yang ada pada dirinya sendiri. Faktor-faktor internal itu berupa kemampuan atau potensi yang berfungsi untuk mengenal dunia luar, dan dengan pengenalan itu manusia mampu memberikan respon terhadap stimulus. Berdasarkan pada pandangan itu teori psikoloig kognitif memandang beljar sebagai proses pemfungsian unsur-unsur kognisi terutama pikiran, untuk dapat mengenal dan memahami stimulus yang datang dari luar. Dengan kata lain, aktivitas belajar manusia ditentukan pada proses internal dalam berpikir yakni pengolahan informasi.

2. Teori Belajar “Cognitive Field” by Lewin
Bertolak dari penemuan Gestalt Psychology, Kurt Lewin (1892-1947) mengembangkan suatu teori belajar cognitivefield dengan menaruh perhatian kepada kepribadian dan psikologi sosial. Lewin memandang masing-masing individu berada dalam satu medan kekuatan, yang bersifat psikologis. Medan kekuatan dimana individu beraksi disebut life space. Life space mencakup perwujudan lingkungan dimana individu bereaksi misalnya, orang-orang yang kita jumpai, objek materiil yang ia hadapi, serta fungsi-fungsi kejiwaan yang ia miliki. Lewin berpendapat, bahwa tingkah laku merupakan hasil interaksi antara kekuatan-kekuatan, baik yang dari dalam diri, seperti tujuan, kebutuhan, tekanan kejiwaan; maupun dari luar individu seperti, tantangan,dan permasalahan. Menurut Lewin ini adalah hasil dari perubahan dalam struktur kognitif. Perubahan struktur kognitif adalah hasil dari struktur medan kognisi sendiri, yang lainnya dari kebutuhan dan motivasi internal individu. (Wasty Soemanto, 1998)
Cara mengembangan ilmu pengetahuan
Cara mengembangkan ilmu pengetahuan ada tiga tahapan; deklaratif, assosiatif, dan otomatis (J. Anderson, 1995; Gagne et al., 1993)
Pada tahapan deklaratif, pelajar memperoleh ilmu pengetahuan deklaratif tentang prosedur; sebagai contoh, mereka mempelajari dimana tempat jari-jari pada keyboard atau peraturan memecahkan masalah hitung.
Sedangkan pada tahap assosiatif, pelajar dapat melakukan prosedur tetapi tetap harus berfikir tentang apa yang mereka lakukan, dan pikiran mereka mengisi sebagian besar dari kerja memori mereka (J. Anderson, 1990). Sebagai contoh, juru ketik baru yang harus mengubah essai, pusat sebagian besar energi mereka harus dengan benar menggunakan keyboard selama tahapan ini dan umumnya tidak dapat untuk mengubah produk tulisan berkualitas tinggi.
Dengan tambahan latihan, pelajar akhirnya pindah kepada tahapan otomatis, ketika mereka dapat melakukan proses dengan sedikit kesadaran pikiran.
Proses perubahan pertama disebabkan oleh proses faal (psikologis) dari sistem saraf pada indra-indra manusia. Jika suatu stimulus tidak mengalami perubahan, misalnya maka akan terjadi adaptasi dan habituasi, yaitu respon terhadap stimulus itu makin lama makin lemah. (Abdul Rahman Saleh, 2008). Hal ini dapat memengaruhi seorang murid ketika menerima pelajarn yang diberikan.
Cara mengembangkan ilmu pengetahuan : implikasi untuk pengetahuan dan mengajar
Pertama, mencapai tahapan otomatis mengambil banyak sekali waktu dan latihan (Bruning et al., 1999), sehingga para murid harus menyediakan dengan sebanyak kesempatan untuk latihan sebanyak mungkin.
Kedua, jalan untuk mengembangkan ilmu pengetahuan adalah membantu kita untuk mengerti mengapa konteks itu sangat penting.
Proses kognitif
Sekarang kita fokus kepada proses—perhatian, persepsi, latihan, pengkodean, dan pengulangan.
1. perhatian: permulaan dari proses informasi
stimulus yang lain, bagaimanapun juga, menarik perhatian kita, diman ini adalah proses dari memfokuskan kesadarn kepada stimulus.
Menarik dan memelihara perhatian murid. Karena perhatian adalah dimana pembelajaran dimulai, menarik dan memlihara perhatian murid adalah penting sekali. Guru harus merencanakan pembelajaran mereka sehingga murid menghadiri apa yang sedang dipelajari dan menolak suara-suara yang berasal dari luar dan penyimpangan stimulus lainnya.
2. persepsi: mengartikan berdekatan kepada stimulus
pentingnya ketelitian persepsi dalam pembelajaran adalah susahnya untuk menekankan. Persepsi murid tentang apa yang mereka lihat atau dengar adalah apa yang memori masukkan ketika bekerja dan jika persepsi ini tidak akurat, informasi ini pada akhirnya tersimpan dalam memori jangka panjang akan juga menjadi tidak seksama.
3. latihan: dinding penguat informasi siap diulang
latihan adalah proses dari mengulang informasi berulang kali walupun dengan suara keras atau dalam hati, tanpa mengubah bentuknya. Analoginya adalah untuk melatih lagi bagian dari musik. Ketika orang-orang melakukan itu, mereka memainkan musik berulang kali seperti tertulis; mereka tidak merubah itu ataupun merubah bentuknya.
4. pengkodean yang berarti: membuat hubungan pada memori jangka panjang
pengkodean adalah proses dari menggambarkan informasi pada memori jangka panjang (Bruning et al., 1999)
ketika kita memberikan kode informasi—mencoba untuk menggambarkannya pada memori jangka panjang kita—tujuan kita harusmembuatnya menjadi berarti mungkin. Berarti menggambarkan dari koneksi atau hubungan antara ide dan ide yang lainnya pada memori jangka panjang (gagne et al., 1993).
5. perluasan. Untuk mengerti bagaimana perluasan dapat memfasilitasi pengkodean yang berarti. Bekarja dengan contoh –oleh konstruksi, pencarian atau menganalisis mereka—adalah barangkali kekuatan yang paling besar dari perluasan strategi (Cassady, 1999). Ketika contoh tidak dapat digunakan, gunakanlah perbandingan, hubungan yang sama dalam beberapa hal tetapi tidak semuanya perduli, dapat menjadi strategi perluasan yang efektif (Bulgren et al., 2000).
3. Teori Belajar ”Cognitive Development” by Piaget
Piaget merupakan salah seorang tokoh yang disebut-sebut sebagai pelopor aliran konstruktivisme. Salah satu sumbangan pemikirannya yang banyak digunakan sebagai rujukan untuk memahami perkembangan kognitif individu yaitu teori tentang tahapan perkembangan individu. Menurut Piaget bahwa perkembangan kognitif individu meliputi empat tahap yaitu : (1) sensory motor; (2) pre operational; (3) concrete operational dan (4) formal operational. Pemikiran lain dari Piaget tentang proses rekonstruksi pengetahuan individu yaitu asimilasi dan akomodasi. James Atherton (2005) menyebutkan bahwa asisimilasi adalah “the process by which a person takes material into their mind from the environment, which may mean changing the evidence of their senses to make it fit” dan akomodasi adalah “the difference made to one’s mind or concepts by the process of assimilation”
Piaget memandang bahwa proses berfikir sebagai aktivitas gradual dari fungsi intelektual dari konkret menuju abstrak. Piaget memakai istilah scheme secara interchangeably, Piaget memakai istilah scheme secara interchangeably dengan istilah struktur. Scheme adalah pola tingkah laku yang dapat diulang. Scheme berhubungan dengan :
o Refleks-refleks pembawaan: misalnya bernapas, tidur, makan, minum, dll.
o Scheme mental; misalnya scheme of classification, scheme of operation (pola tingkah laku yang masih sukar diamati seperti sikap) dan scheme of operation (pola tingkah laku yang dapat diamati).
Menurut Piaget, inteligensi itu sendiri terdiri dari tiga aspek, yaitu:
 Struktur ; disebut juga scheme seperti yang dikemukakan di atas.
 Isi ; disebut juga content yaitu pola tingkah laku spesifik tatkala individu menghadapi sesuatu masalah.
 Fungsi ; disebut juga function yang berhubungan dengan cara seseorang mencapai kemajuan intelektual. Fungsi itu sendiri terdiri dari 2 macam fungsi invarian, yaitu organisasi dan adaptasi.
o Organisasi ; berupa kecakapan seseorang atau organisme dalam menyusun proses-proses fisik dan psikis dalam bentuk sistem-sistem yang koheren
o Adaptasi ; yaitu adaptasi individu terhadap lingkungannya. Adaptasi ini terdiri dari dua macam proses komplementer. Yaitu asimilasi dan akomodasi.
 Asimilasi ; proses penggunaan struktur atau kemampuan individu untuk menghadapi masalah dalam lingkungannya
 Akomodasi ; proses perubahan respon individu terhadap stimuli lingkungan.
Pertumbuhan intelektual terjadi karena adanya proses yang kontinu dari adanya equilibrium-disequilibrium. Bila individu dapat menjaga adanya equilibrium, maka ia akan mencapai tingkat perkembangan yang lebih tinggi lagi. (Wasty Soemanto, 1998).
Prinsip teori Piaget, (a) manusia tumbuh beradaptasi, dan berubah melalui perkembangan fisik, kepribadian, sosioemosional, kognitif, dan bahasa; (b) pengetahuan datang melalui tindakan; (c) perkembangan kognitif sebagian besar tergantung seberapa jauh anak aktif memanipulasi dan berinteraksi dengan lingkungan.
Menurut Piaget perkembangan kognitif pada anak secara garis besar sebagai berikut: (a) priode sensori motor (0-2 tahun); (b) priode praoperasional (2-7 tahun); (c) priode operasional konkrit (7-11 tahun); (d) priode operasi formal (11-15 tahun).
Konsep-konsep dasar proses organisasi dan adaptasi intelektual menurut Piaget, yaitu :
a. skemata, dipandang sebagai sekumpulan konsep;
b. asimilasi, peristiwa mencocokkan informasi baru dengan informasi lama yang sudah dimiliki oleh seseorang;
c. akomodasi, terjadi apabila antara informasi baru dan lama yang semula tidak cocok kemudian dibandingkan dan disesuaikan dengan informasi lama; dan
d. equilibrium (keseimbangan), bila keseimbangan tercapai maka siswa mengenal informasi baru
Selain itu, dalam proses belajar yang menjadi fokus adalah adanya rangsangan dari luar, sedangkan dalam proses kognisi yang utama adalah adanya dorongan atau kehendak dari dalam diri individu sendiri (Abdul Rahman Saleh, 2008)

4. Teori Belajar “Discovery Learning” by Bruner
Dasar ide J. Bruner adalah pendapat dari Piaget yang mengatakan bahwa anak harus berperan secara aktif di dalam kelas belajar itu. Untuk itu Bruner memakai cara apa yang disebutnya discovery learning, yaitu dimana murid mengorganisasi bahan yang dipelajari dengan suatu bentuk akhir.
Seperti yang kita lihat di awal bab ini, aktif belajar adalah prinsip teori pembelajaran kognitif. Sebagai contoh, geometri siswa yang mengukur bentuk-bentuk seperti segitiga dan persegi panjang, menggunakan pengukuran dalam pemecahan masalah, dan mendiskusikan logika di balik strategi mereka memecahkan masalah-masalah yang kompleks secara lebih efektif maka siswa yang diberi penjelasan tentang masalah geometris, terlepas dari bagaimana menghapus penjelasan adalah (Nuthall, 1999b).
“Aktivitas” tidak sesederhana seperti yang muncul di permukaan, namun. Sebagai contoh karena di tangan-kegiatan di bidang ilmu pengetahuan didorong pengajaran, guru sering beranggapan bahwa belajar adalah mengambil tempat jika pelajar bekerja dengan bahan-bahan, seperti magnet dan objek lain. Ini belum tentu demikian. Jika tujuan tidak jelas, atau jika siswa tidak didorong untuk menggambarkan hubungan antara apa yang mereka lakukan dan informasi yang mereka sudah memahami, belajar tidak boleh terjadi. “Hands-on” kegiatan tidak menjamin “pikiran dalam” kegiatan (Mayer, 1999). Hal yang sama berlaku dengan Manipulatif dalam matematika (Ball, 1992), pembelajaran kooperatif, dan strategi lain dimaksudkan untuk meningkatkan partisipasi peserta didik aktif. Karena siswa secara fisik aktif atau berbicara, guru menganggap bahwa belajar berlangsung. Hal ini sering tidak benar.
Selain itu juga, Teori Bruner hampir serupa dengan teori Piaget, Di dalam teorinya Bruner mengemukakan bahwa perkembangan intelektual anak mengikuti 3 tahap representasi yang berurutan, yaitu: (a)enactive representation, segala pengertian anak tergantung kepada responnya; (b) iconic representation, pola berfikir anak tergantung kepada organisasi visual (benda-benda yang konkrit) dan organisasi sensorisnya; dan (c) simbolic reprentation, anak telah memiliki pengertian yang utuh tentang sesuatu hal, pada priode ini anak telah mampu mengutarakan pendapatnya dengan bahasa.
Berbeda dengan Piaget, Bruner memiliki pandangan yang lain tentang peranan bahasa dalam perkembangan intelektual anak. Bruner berpendapat meskipun bahasa dan pikiran berhubungan, tetapi merupakan dua sistem yang berbeda. Bahasa merupakan alat berfikir dalam yang berbentuk pikiran. Dengan kata lain proses berfikir adalah akibat bahasa dalam yang berlangsung dalam benak siswa.
Bruner juga berpendapat bahwa kesiapan adalah penguasaan keterampilan sederhana yang memungkinkan seseorang menguasai keterampilan lebih tinggi. Menurut Bruner kita tidak boleh menunggu datangnya kesiapan, tetapi harus membantu tercapainya kesiapan itu. Tugas orang dewasalah mengajarkan kesiapan itu pada anak. Berhubungan dengan proses belajar Bruner dikenal dengan belajar penemuannya (discovery learning).

5. Implikasi teori belajar kognitif dalam pembelajaran
 Implikasi teori-teori belajar kognitif
1) Dua hukum pokok Gestalt, yaitu:
a. Pragnaz (Jerman) atau pregnance (Inggris: menuju kepada kejelasan (Clarity).
b. Closure : mulai dari totalitet (totality)
(Hukum yang lain: kedekatan, persamaan, kontiguitet, gerakan bersama, simetris).
Hal yang penting dari psikologi Gestalt ialah insight – aha (erlebnis) – now – i see. Peletak dasar psikologi Gestalt ialah Max Wertheimer sebagai usaha untuk memperbaiki proses belajar dengan rote learning dengan pengertian bukan menghapal.
Psikologi Gestalt ini kemudian dikembangkan oleh Kurt Lewin dengan ”cognitive – field psychology” – nya. Teori Lewin berdasarkan pada ”life space”, yaitu dunia psikologis daripada kehidupan individu. Ia menjelaskan bahwa tingkah laku belajar merupakan usaha untuk mengadakan reorganisasi atau restruktur. Psikologi Gestalt menyusun belajar itu ke dalam pola-pola tertentu bukan pada bagian-bagian.
2) Implikasi teori Piaget untuk pendidikan
Implikasi teori Piaget dalam Proses Pembelajaran, yaitu :
a. Memusatkan perhatian kepada berfikir atau proses mental anak, tidak sekedar kepada hasilnya tetapi juga prosesnya
b. mengutamakan peran siswa dalam berinisiatif sendiri, keterlibatan aktif dalam pembelajaran, penyajian pengetahuan jadi tidak mendapat tekanan
c. memaklumi adanya perbedaan individual, maka kegiatan pembelajaran diatur dalam bentuk kelompok kecil
d. peran guru sebagai seorang yang mempersiapkan lingkungan yang memungkinkan siswa dapat memperoleh pengalaman yang luas.
Para pendidik memandang bahwa teori Piaget itu dapat dipakai sebagai dasar pertimbangan guru di dalam menyusun struktur dan urutan mata pelajaran di dalam kurikulum. Hunt (1964) mempraktekan di dalam program pendidikan TK yang menekankan pada perkembangan sensori motoris dan preoperasional. Poel (1964) di dalam program pendidikan science dan Adler (1966) di dalam mengajar berhitung.
Deskripsi Piaget mengenai hubungan antara tingkat perkembangan konseptual anak dengan bahan pelajaran yang kompleks menunjukkan bahwa guru harus memperhatikan apa yang harus diajarkan dan bagaimana mengajarkannya.
Strategi belajar yang dikembangkan dari teori Piaget ialah mengadapkan anak dengan sifat pandangan yang tidak logis (Siegel). Anak sulit mengerti sesuatu pandangan yang berbeda dengan pandangannya sendiri (anak itu berkembang dari alam pandangan yang egosentris ke alam sosiosentris).
Menurut Piaget operasi mental tertentu terdapat pada tingkat perkembangan yang berbeda-beda yang membatasi kesanggupan anak untuk mengelola masalah-masalah tertentu terutama pada tahap abstrak. Ini menunjukkan bahwa guru harus dengan tepat menyesuaikan bahan pengajaran yang kompleks dengan tahap perkembangan anak.
Ia menunjukkan perbedaan antara kematangan perbedaan dengan keterampilan intelektual yang dipelajari dengan sungguh-sungguh. Kalau anak itu belum memiliki keterampilan subordinat yang berhubungan dengan tugas itu, dan sebagai prerequisitnya. Anak dapat mempelajari tugas apa saja kalau ia sudah memiliki keterampilan intelektual yang menjadi prerequisit tugas itu.
3) Implikasi teori belajar “Discovery Learning” dari Bruner
• Dengan menekankan pada discovery murid akan belajar mengorganisir problem-problem daripada menghadapi problem-problem itu dengan metode hit dan miss. Motivasi intrinsik lebih baik daripada motivasi ekstrinsik. Pemenuhan diri lebih baik daripada bentuk ganjaran dari orang tua, guru, atau temn-temannya. Ganjaran eksternal akan menghasilkan rote learning dengan sedikit pengertian atau penguasaan daripada lingkingan. Discovery learning mengarah pada self reward. Dengan ini anak akan mencapai kepuasaan Karen telah menemukan pemecahan problem sendiri.
• Dalam process of education disebutkan juga tentang spiral curriculum. Spiral curriculum adalah suatu kurikulum yang disusun mulai dari suatu topic yang sederhana menuju ke topic yang makin kompleks. Anak mempelajari suatu topic yang sederhana, kembali ke topic itu pada tingkatan yang lebih luas. Discovery learning sering diartikan sama dengan inqury training atau problem solving dan ketiganya sering dipaki secara bergantian.
4) Pemikiran tentang Model Belajar Mengajar
Teori Piaget dibicarakan di sini karena secara jelas teori itu ada interaksinya dengan perbedaan individual, tujuan instruksional, prinsip belajar, dan metode mengajar. Menilai tingkat perkembangan kognitif seorang anak memberikan informasi tentang tujuan yang akan dicapai. Ada dua pendekatan tentang readliness, yaitu dari tingkat perkembangan fungsi-fungsi kognitif dan pengetahuan anak daripada matapelajaran.
Metode belajar discovery dan reception memberikan tambahan pengertian tentang cara-cara untuk mencapai tujuan. Dan tidak semua metode mengajar cocok untuk membantu siswa untuk mencapai tujuan. Mengajar yang baik melibatkan kecakapan dalam menentukan metode yang efektif.




Daftar Pustaka :
o Saleh, Abdul Rahman, 2008. Suatu Pengantar dalam Perspektif Islam. Jakarta : Kencana Prenada Media Group.
o Soemanto, Drs. Wasty, 1998. Psikologi Pendidikan . Jakarta : PT. Rineka Cipta.
o Google

teori belajar piaget

Piaget merupakan salah satu pioner konstruktivis, ia berpendapat bahwa anak membangun sendiri pengetahuannya dari pengalamannya sendiri dengan lingkungan. Dalam pandangan Piaget, pengetahuan datang dari tindakan, perkembangan kognitif sebagian besar bergantung kepada seberapa jauh anak aktif memanipulasi dan aktif berinteraksi dengan lingkungannya. Dalam hal ini peran guru adalah sebagai fasilitator dan buku sebagai pemberi informasi.
Piaget menjabarkan implikasi teori kognitif pada pendidikan yaitu 1) memusatkan perhatian kepada cara berpikir atau proses mental anak, tidak sekedar kepada hasilnya. Guru harus memahami proses yang digunakan anak sehingga sampai pada hasil tersebut. Pengalaman – pengalaman belajar yang sesuai dikembangkan dengan memperhatikan tahap fungsi kognitif dan jika guru penuh perhatian terhadap Pendekatan yang digunakan siswa untuk sampai pada kesimpulan tertentu, barulah dapat dikatakan guru berada dalam posisi memberikan pengalaman yang dimaksud, 2) mengutamakan peran siswa dalam berinisiatif sendiri dan keterlibatan aktif dalam kegiatan belajar. Dalam kelas, Piaget menekankan bahwa pengajaran pengetahuan jadi ( ready made knowledge ) anak didorong menentukan sendiri pengetahuan itu melalui interaksi spontan dengan lingkungan, 3) memaklumi akan adanya perbedaan individual dalam hal kemajuan perkembangan. Teori Piaget mengasumsikan bahwa seluruh siswa tumbuh dan melewati urutan perkembangan yang sama, namun pertumbungan itu berlangsung pada kecepatan berbeda. Oleh karena itu guru harus melakukan upaya untuk mengatur aktivitas di dalam kelas yang terdiri dari individu – individu ke dalam bentuk kelompok – kelompok kecil siswa daripada aktivitas dalam bentuk klasikal, 4) mengutamakan peran siswa untuk saling berinteraksi. Menurut Piaget, pertukaran gagasan – gagasan tidak dapat dihindari untuk perkembangan penalaran. Walaupun penalaran tidak dapat diajarkan secara langsung, perkembangannya dapat disimulasi.

B. Teori Belajar Kognitif menurut Piaget
Piaget merupakan salah seorang tokoh yang disebut-sebut sebagai pelopor aliran konstruktivisme. Salah satu sumbangan pemikirannya yang banyak digunakan sebagai rujukan untuk memahami perkembangan kognitif individu yaitu teori tentang tahapan perkembangan individu. Menurut Piaget bahwa perkembangan kognitif individu meliputi empat tahap yaitu : (1) sensory motor; (2) pre operational; (3) concrete operational dan (4) formal operational. Pemikiran lain dari Piaget tentang proses rekonstruksi pengetahuan individu yaitu asimilasi dan akomodasi. James Atherton (2005) menyebutkan bahwa asisimilasi adalah “the process by which a person takes material into their mind from the environment, which may mean changing the evidence of their senses to make it fit” dan akomodasi adalah “the difference made to one’s mind or concepts by the process of assimilation”
Dikemukakannya pula, bahwa belajar akan lebih berhasil apabila disesuaikan dengan tahap perkembangan kognitif peserta didik. Peserta didik hendaknya diberi kesempatan untuk melakukan eksperimen dengan obyek fisik, yang ditunjang oleh interaksi dengan teman sebaya dan dibantu oleh pertanyaan tilikan dari guru. Guru hendaknya banyak memberikan rangsangan kepada peserta didik agar mau berinteraksi dengan lingkungan secara aktif, mencari dan menemukan berbagai hal dari lingkungan.
Implikasi teori perkembangan kognitif Piaget dalam pembelajaran adalah :
1. Bahasa dan cara berfikir anak berbeda dengan orang dewasa. Oleh karena itu guru mengajar dengan menggunakan bahasa yang sesuai dengan cara berfikir anak.
2. Anak-anak akan belajar lebih baik apabila dapat menghadapi lingkungan dengan baik. Guru harus membantu anak agar dapat berinteraksi dengan lingkungan sebaik-baiknya.
3. Bahan yang harus dipelajari anak hendaknya dirasakan baru tetapi tidak asing.
4. Berikan peluang agar anak belajar sesuai tahap perkembangannya.
5. Di dalam kelas, anak-anak hendaknya diberi peluang untuk saling berbicara dan diskusi dengan teman-temanya.
A. Pandangan Tentang Belajar
Psikologi kognitif mengatakan bahwa perilaku manusia tidak ditentukan oleh stimulus yang berada diluar dirinya, melainkan oleh faktor yang ada pada dirinya sendiri. Faktor-faktor internal itu berupa kemampuan atau potensi yang berfungsi untuk mengenal dunia luar, dan dengan pengenalan itu manusia mampu memberikan respon terhadap stimulus. Berdasarkan pada pandangan itu teori psikoloig kognitif memandang beljar sebagai proses pemfungsian unsur-unsur kognisi terutama pikiran, untuk dapat mengenal dan memahami stimulus yang datang dari luar. Dengan kata lain, aktivitas belajar manusia ditentukan pada proses internal dalam berpikir yakni pengolahan informasi.
ntisari dari teori belajar konstruktivisme adalah bahwa belajar merupakan proses penemuan (discovery) dan transformasi informasi kompleks yang berlangsung pada diri seseorang. Individu yang sedang belajar dipandang sebagai orang yang secara konstan memberikan informasi baru untuk dikonfirmasikan dengan prinsip yang telah dimiliki, kemudian merevisi prinsip tersebut apabila sudah tidak sesuai dengan informasi yang baru diperoleh . Agar siswa mampu melakukan kegiatan belajar, maka ia harus melibatkan diri secara aktif.
B. Pembelajaran Aliran Kognitif.
1. Pembelajaran menurut Jean Piaget.
Prinsip utama pembelajaran.
a) Belajar aktif
Untuk membantu perkembangan kognitif anak, kepadanya perlu diciptakan kondisi belajar yang memungkinkan anak belajar sendiri, misalnya melakukan percobaan. Manipulasi symbol-simbol, mengajukan pertanyaan dan mencari jawaban sendiri, membandingkan penemuan sendiri dengan penemuan temannya.
b) Belajar lewat interakksi sosial.
Tanpa intraksi sosial, perkembangan kognitif anank akan tetap bersifat egosentris. Sebaliknya lewat interaksi sosial, perkembangan kognitif anak akan mengarah pada banyak pandangan dengan macam-macam sudut pandang dari alternatif tindakan.
c) Belajar lewat pengalaman sendiri.
Bahasa memang memegang peranan penting dalam perkembangan kognitif , namun bila menggunakan bahasa yang digunakan untuk berkomunikasi tanpa pernah karena pengalaman sendiri makaperkembangan anak cenderung mengarah pada verbalisme.
2. Pembelajaran menurut JA Brunner
Dalam pengajaran disekolah, Brunner mengajukan bahwa dalam pembelajaran hendaknya mencakup :
a) Pengalaman-pengalaman optimal untuk mau dan dapat belajar.
b) Pensturkturasi pengetahuan untuk pemahaman optimal
1. Penyajian.
a) Cara penyajian ikonik didasarkan atas pikiran internal.
Pengetahuan disajikan oleh sekumpulan gambar-gambar yang mewakili suatu konsep, tetapi tidak mendefinisikan sepenuhnya konsep itu.
b) Cara epenyajian simbolik
Penyajian simbolik dibuktikan oleh kemauan seseorang lebih memperhatikan preposisi/ pernyataan daripada obyek-obyek yeng memberikan struktur hirarkis pada konsep-konsep an kemungkinan alternative dalam suatu cara kombinatorial
2. Ekonomi
Dalam penyajian suatu pengetahuan akan dihubungkan dengan sejumlah informasi yang dapat disimpan dalam pikiran, dan diproses untuk mencapai pemahaman.
3. Kekuasa kekuatan
Kuasa dari suatu penyajian juga dapat diartikan sebagai kemampuan penyajian itu untuk menghubung-hubungkan hal-hal yang kelihatannya dangat terpisah-pisah.
c) Perincian urutan penyajian materi pelajaran.
d) Cara pemberian “reinforcement”.
3. Pembelajaran menurut David Ausable
Prinsip-prinsip pembelajaran :
a) Pengaturan awal
Pengaturan awal dapat digunakan guru dalam membantu mengaitkan konsep lama dengan konsep baru yang lebih tinggi maknanya.
b) Deferen siasi progresif.
Dalam proses belajar bermakna perlua ada pengmbangan dan evaluasi konsep-konsep. Caranya, unsure yang paling umum dan inklusif diperkenalkan dahulu kemudian baru yang lebih mendetail, berarti pembelajaran dari umum ke kuhsus.
c) Belajar super ordinat
Adalah proses struktur kognitif yang mengalami pertumbuhan kearah deferensiasi, terjadi sejak perolehan informasi dan diasosiasikan dengan konsep dalam struktur kognitif tersebut.
d) Penyesuaian integrative.
C. Teori Belajar Pengolahan Informasi
1. Penampungan kesan-kesan penginderaan jangka pendek (STSS)
Komponen pertama system memori yang berfungsi menerima informasi baru adalah pusat kemampuan kesan-kesan penginderaan/disebut memori inderawi. Stimulus yang dapat membangkitkan perhatian.
a) Stimulus Psiko fisik (Psycohysical Stimulus)
Variasi intensitas, ukuran, suara dan warna suatu stimulus dapat memunculkan respon tertentu.
b) Stimulus emosional (emotional stimulus)
Guru mamu “mengkoordinasi” materi pembelajaran, maka akan mampu membangkitkan emosi siswa yang pada akhirnya siswa cepat memahami pelajaran baru.
c) Stimulus kesenjangan (Diskrepant Stimulus)
Stimulus yang mampu membangkitkan sebagian tergantung pada aspek kebaharuan, kompleksitas, dan keunikannya.
d) Manding stimulus (Manding Stimulus)
Merupakan pernyataa verbal yang memiliki konsekwensi tinggi.
2. Memori Jangka Pendek (STM) dan memori kerja (WM)
Informasi yag diamati dan diperhatikan oleh seseorang akan masuk kedalam memori jangka pendek (STM)atau memori kerja (WM). Melalui penampungan penginderaan jangka pendek (STSS). STM adalah system penyimpanan yang mampu menyimpan sejumlah informasi selama beberapa detik. Demikian pula STM merupakan bagian dari memori dimana suatu informasi pada akhirnya dipikirkan untuk disimpan. Apabila seseorang berhenti untuk memikirkan informasi yang baru masuk, maka nformasi akan segera hilang dari STMnya.
Keterbatasan kapasitas yang dimiliki STM juga memiliki implikasi penting dalam pembelajaran.Guru tidak boleh terlalu banyak menyajikan gagasan dalam sekali pembelajaran kecualijika gagasan itu diorganisir dengan baik dan dihubungkan dengan informasi yang telah ada didalam LTM siswa, sehingga STM mereka dengan bantuan LTMdapat mengkoordinasi seluruh gagasan tersebut.
3. Memori Jangka Panjang.
Teori belajar kognitif membagi memori jangka panjang kedalam 3 bagian :
a) Memori episodic (Episodic memory)
Adalah memori tentang pengalaman personal, yakni semacam gambaran mental mengenai sesuatu yang telah dilihat /didengar.
b) Memori semantic (semantic memory)
Berisi tentang fakta dan informasi tergeneralisasi yang telah diketahui sebelumnya, konsep-konsep prinsip, dan cara menggunakan informasi tersebut, serta keterampilan pemecahan masalah dan strategi belajar.
c) Memori procedural (procedural memory)
Menunju pad apengetahuan tentang cara mengerjakan sesuatu, t erutama alam mengerjakan tugas-tugas fisik. Jenis memori ini disimpan dalam serangkaian pasangan stimulus-respon.
D. Lupa dan Ingat.
Salah satu alasan penting orang mengalami lupa adalah karena faktor interferensi. Interferensi terjadi apabila informasi bercampur dengan atau tergeser oleh informasi yang lain. Salah satu bentuk interferensi adalah ketika orang mengalami hambatan dalam melakukan rehersal atas informasi yang dimiliki karena adanya informasi lain.
Interferensi ada 2 bentuk :
1. Interferensi tetro aktif terjadi apabila informasi yang telah dipelajari mengganggu siswa dalam mempelajari infomasi berikutnya.
2. Interferensi proaktif, terjadi apabila informais yang baru dipelajari mengganggu seseorang dalam mengingat informasi yang telah dipelajari sebelumnya.
Cara untuk mengurangi interfernsi retro aktif.
1. Konsep yang sama atau yang memiliki karakteristik sama hendaknya tidak diajarkan dalam waktu yang berdekatan.
2. Menggunakan metode pembelajaran yang berbeda dalam mengajarkan konsep yang sama, menggunakan metode pembelajaran bervariasi dalam mengajarkan konsep yang sama.
Bentuk pelancaran dalam membangkitkan ingatan.
a) Pelancaran proaktif
Yaitu seseorang akan mengingat informasi sebelumnya apa bila informasi yang baru dipelajari memiliki karakteristik yang sama.
b) Penalaran retro aktif.
Yaitu seseorang yang mempelajari informasi baru akan memantapkan ingatan informasi yang telah dipelajari.

talak

Talak
Disyaratkan bagi orang yang menalak hal-hal berikut ini :
1. Baligh. Talak yang dijatuhkan anak kecil tidak sah, sekalipun dia pandai.
2. Berakal sehat. Talak yang dijatuhkan oleh orang gila, baik penyakitnya akut maupun jadi-jadian (incidental), pada saat dia gila, tidak sah. Begitu pu dengan talak yang dijatuhkan oleh orang yang tidak sadar, dan orang yang hilang kesadarannya lantaran sakit panas yang amat tinggi sehingga ia meracau. Sementara itu talak orang yang sedang marah dianggap sah apabila dia memang memiliki maksud menjatuhkan talak. Akan tetapi apabila ucapan talaknya keluar tanpa disadari berarti sama dengan hokum talak yang dijatuhkan oleh orang gila.
3. Atas kehendak sendiri. Talak yang dijatuhkan oleh orang yang dipaksa dianggap tidak sah.
4. betul-betul bermaksud menjatuhkan talak. Kalau seorang laki-laki mengucapkan talak karena lupa, keliru atau main-main, maka talaknya dinyatakan tidak jatuh.

Talak terbagi dua, yaitu:
1. Talak Raj’I adalah talak dimana suami masih memiliki hak untuk kembali kepada istrinya (rujuk) sepanjang istrinya tersebut masih dalam masa ‘iddah, baik istri tersebut bersedia dirujuk maupun tidak.
2. Talak Ba’in adalah talak yang suaminya tidak memiliki hak untuk rujuk kepada wanita yang ditalaknya, yang mencakup beberapa jenis:
• Wanita yang ditalak sebelum dicampuri (jenis ini disepakati oleh semua pihak).
• Wanita yang dicerai tiga
• Talak Khulu’
• Wanita yang telah memasuki masa menopousa.
3. Talak tiga,
Jumlah talak
Apabila seorang suami menceraikan istrinya untuk ketiga kalinya, yang didahului oleh dua kali talak raj’I, maka haramlah istrinya itu baginya, sampai ada pria lain yang mengawininya.

Rujuk
Rujuk (ruju’) dalam istilah para ulama mazhab adalah menarik kembali wanita yang ditalak dan mempertahankan (ikatan) perkawinannya. Hukumnya adalah boleh. Rujuk tidak membutuhkan wali, mas kawin, dan tidak pula kesediaan istri yang ditalak. Artinya bila kaum wanita tersebut sudah mendekati masa akhir iddah mereka, suami-suami mereka boleh merujuki mereka.

Zhihar
Zhihar ialah apabila ada seorang laki-laki berkata kepada istrinya, “Bagiku, engkau seperti punggung ibuku.” Para ulama mazhab sepakat bahwa apabila seorang laki-laki mengatakan hal seperti itu kepada istrinya, maka laki-laki itu tidak halal lagi mencampuri istrinya sampai dia memerdekakan seorang budak. Kalau dia tidak mampu, dia haris berpuasa dua bulan berturut-turut. Kalau tidak mampu pula, dia harus memberi makan enam puluh orang miskin.

Ila’
Ila’ ialah sumpah seorang suami dengan nama Allah untuk tidak menggauli istrinya.

Li’an
Li’an ialah apabila seorang suami telah menuduh istrinya berbuat zina, atau tidak mengakui anak yang lahir dari istrinya sebagai anak kandungnya, sedangkan istri tersebut menolak tuduhannya itu: padahal si suami tidak punya bukti bagi penuduhan itu, maka dia boleh melakukan sumpah li’an terhadap istrinya itu.

Daftar Pustaka :
1. Ar-Ruhaily,Ruway’I.Fiqh Umar.1994.Jakarta:Pustaka Alkautsari.
2. Daradjat,Zakiah.Ilmu Fiqih.1995.Yogyakarta:Dana Bakti Wakaf.
3. Fiqih Lima Mazhab: Ja’fari, Hanafi, Malaki, Syafi’I, Hambali / Muhammad Jawad Mughniyah; penerjemah, Masykur A.B., Afif Muhammad, Idrus Al-Kaff; penyunting, Faisal Abudan, Umar Shahab.—Cet. 5.—Jakarta: Lentera, 2000.

hadist sabar

1) عَنْ أَبِيْ سَعِيْد وَ أَ بِيْ هُرَيْرَ ةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا عَنْ الّنبِيّ قََا لَ: مَا يُصِيْبُ الْمُسْلِمُ مِنْ نَصَبِِ وَ لا هَمّ حَزَ ن وَلا أَ ذ ى وَ لا غَمّ جَتى إِلا كَفَرَ الله بِهَا مِنْ خَطَا يَاهُ (متفق عليه) وَ الوَ صَبُ المَرَ ضُ

Dari Abu Syaid dan Abu Hurairah berkata dari Nabi SAW bersabda: Apa-apa yang menimpa orang muslim dari penyakit, baik penyakit yang menular atau tidak menular dan orang muslim tersebut tidak menyesal, tidak sedih sehingga ia dapat menerima sakitnya, maka Allah SWT akan mengampuni dari kesalahannya. (Muttafaq ‘alaihi)

2) قاَ لَ النبِيّ *** إن عِظَمَ الجَزَا ءِ مَعَ عِظمِ البَلا ءِ وَ إ ن الله تَعَا لى إ ذَا أ حَبَ قَوْ ما ابْتَلا هُمْ فَمَنْ رَضِيَ فَلهُ الرّ ضَا وَمَنْ سَخِط فَلهُ السُخْط (رواه التر مذي و قا ل حد يث حسن)

Bersabda Nabi SAW “Sesungguhnya pahala yang besar itu bersama cobaan yang besar, dan sesungguhnya Allah SWT menyukai umatnya yang apabila ditimpa musibah (cobaan) mereka ridho, maka Allah SWT juga ridho, juga barang siapa yang marah maka Allah juga marah (HR. turmudzi dan hadist hasan).

3) عَنْ أ بيْ هُرَيْرَ ةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ أ نّ رَسُوْلُ الله *** قاَ لَ : ليْسَ الشّدِ يْدَ با لصّرَ عَةِ إ نّمَا الشّدِ يْدُ الذِ يْ يَمْلِكُ نَفسَهُ عِنْدَ الغَضَبِ (متفق عليه)
Dari Abi Hurairah radiallahu ‘anhu : Sesungguhnya Rasullullah SAW bersabda “Orang yang kuat itu bukan dengan gulat, bahwasanya orang yang kuat itu adalah orang yang bias mengendalikan dirinya ketika sedang marah (Mutafaq ‘alaihi).
Unsur-unsur ketuhanan yang terdapat pada diri manusia bermula dari konsep ruh. Berdasarkan pemahaman itu, salah satu makna fitrah manusia, dalam QS Al-Rum [30]: 30, adalah pemberian asma’ dan sifat-sifat ketuhanan yang dihembuskan pada diri manusia, sehingga secara potensial manusia memiliki asma’ dan sifat-sifat ketuhanan yang apabila diaktualisasikan akan menimbulkan kepribadian rabbani.
Seperti yang kita ketahui sifat-sifat yang dimiliki oleh Allah terpancar dalam diri manusia. Sabar merupakan salah satu asma’ (nama-nama) dan sifat Allah yang juga dimiliki oleh manusia. Sifat Maha Penyabar merupakan salah satu sifat yang mampu menahan diri dari amarah dan gejolak nafsu, sehingga ia memiliki ketinggian; memiliki kesabaran dalam melaksanakan perintah dan menghadapi musibah.
Sabar biasanya dikaitkan dengan suatu musibah atau cobaan yang diberikan Allah kepada kita. Bahkan ada salah satu istilah yang begitu sering kita dengar, yaitu “orang sabar disayang Tuhan”. Istilah tersebut memang bukan merupakan istilah yang salah karena seperti yang kita tahu Allah memang akan memberi kebahagiaan dalam sebuah kesulitan sebagai hadiah dari bentuk kesabaran.
Meskipun sabar merupakan salah satu sifat yang secara potensial dimiliki oleh setiap orang, tapi tingkat kesabaran seseorang tentunya berbeda-beda. Ada orang yang begitu sabar menghadapi cobaan yang diberikan oleh Allah dan menerimanya dengan ikhlas. Ada juga orang yang tidak sabar menghadapi cobaan yang diberikan oleh Allah, bahkan cobaan tersebut membuat orang itu jauh dari Allah.
“Tidak ada suatu musibah yang menimpa (seseorang), kecuali dengan izin Allah; dan barang siapa beriman kepada Allah , niscaya Allah akan memberi petunjuk kepada hatinya. Dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.” (QS Al-Taghabun [64]: 11).
Ayat di atas sejatinya mengingatkan kita bahwa segala sesuatu yang terjadi kepada kita adalah seizin Allah. Kita hendaknya berpikir positif atas apa yang terjadi kepada kita. Allah punya rahasia atas apa yang diberikan kepada kita, sebuah hikmah yang terpendam dalam setiap kejadian yang menjadi bagian dari hidup kita.
Melakukan kesabaran memang tidak semudah melakukan suatu kesabaran. Karena sebagai seorang manusia biasa kita tentunya memiliki emosi yang terkadang pada saat tertentu dapat membuat kita hilang kesabaran. Lewat sebuah kisah dari nabi Ayub kita dapat mempelajari tentang sebuah kesabaran.
Seperti yang kita ketahui nabi Ayub diberikan ujian oleh Allah swt. berupa penyakit. Kemudian penyakit tersebut mendatangkan ujian selanjutnya yaitu ketika akhinya nabi Ayub ditinggalkan oleh keluarganya. Nabi Ayub tetap bersabar meskipun ujian yang dia hadapi begitu berat. Nabi Ayub memiliki kepribadian rasuli yang tabah, sabar dan tawakal terhadap musibah yang diberikan oleh Allah SWT; berusaha mencari hikmah yang terkandung dalam musibah, baik berupa penyakit, kemiskinan, maupun penghinaan dari orang lain.
Dari penggalan kisah tersebut, kita dapat mengambil contoh mengenai kesabaran nabi Ayub. Ujian yang kita terima yang kita dapat dari Allah swt. sejatinya tidak membuat kita hilang kesabaran, tetapi ujian tersebut dapat kita jadikan lumbung dalam belajar untuk bersabar.
Seperti dalam ayat berikut :
“dan Kami pasti akan menguji kamu dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa, dan buah-buahan. Dan sampaikanlah kabar gembira kepada orang-orang yang sabar. (yaitu) orang-orang yang apabila ditimpa musibah, mereka berkata “Inna lillahi wa inna illaihi rajiun” (sesungguhnya kami milik Allah dan kepada-Nyalah kami kembali). (Al-Baqarah : 155-156)
Ayat di atas mengisyaratkan bahwa tidak ada kehidupan tanpa ujian. Ujian yang akan melahirkan kesabaran. Kehidupan ada untuk melewati sebuah tantangan, artinya kehidupan itu baru namanya hidup jika kita mampu melewati dan menghadapi tantangan yang datang didalam kehidupan kita.
Ketika kita sedang diberikan ujian oleh Allah SWT. ketika kesabaran kita sedang diuji oleh Allah kita hendaknya mengingat ayat sepeti berikut ini :
“dan ingatlah akan hamba Kami Ayub ketika dia menyeru Tuhannya, “Sesungguhnya aku diganggu setan dengn penderitaan dan bencana”. “(Allah befirman,)” Hentakkanlah kakimu ; inilah air yang sejuk untuk mandi dan untuk minum.” “Dan kami anugrahi dia (Dengan mengumpulkan kembali) keluarganya dan kami lipat gandakan jumlah mereka , sebagai rahmat dari kami dan pelajaran bagi orang-orang yang berpikiran sehat. Dan ambillah seikat (rumput) dengan tanganmu, lalu pukullah dengan itu dan janganlah engkau melanggar sumpah. Sesungguhnya kami dapati dia (Ayub) seorang yang sabar. Ialah sebaik-baik hamba. Sungguh ia sangat taat (kepada Allah).

Jelas sekali dalam ayat diatas apabila kita dapat meresapi dan memahaminya, kita dapat mengerti betapa besarnya hikmah dibalik kesabaran seperti yang kita ketahui
Allah punya hadiah untuk hambanya yang bersabar
Sebuah cahaya untuk setiap kegelapan
Sebuah rencana untuk hari esok
Sebuah jalan keluar untuk setiap permasalahan
Dan sebuah kebahagiaan untuk setiap kesedihan
Begitu dalam arti dari kata-kata tersebut. Allah selalu memiliki jalan keluar dan jawaban bagi setiap perjalanan kehidupan hambanya. Mka rasanya tak pantas apabila kita tidak memiliki rasa kesabaran dikala ujian itu datang kepada kita, padahal sesungguhnya kita tahu bahwa Allah memiliki segala jawabannya. Perlu kita yakini bahwa Allah tidak pernah memberikan hambanya ujian diluar batas kemampuan hambanya. Satu hal lagi yang terpenting bahwa Allah tidak akan memberikan ujian kepada hambanya tanpa arti.
Rasulullah saw menganjurkan kepada kaum muslim agar dapat mengendalikan emosi kemarahan. Diriwayatkan dari Abu hurairah ra, Seorang laki-laki berkata kepada nabi saw, “berwasiatlah untukku!” nabi saw lalu berkata, “jangan sekali-kali kamu marah!” orang itu lalu mengulang permohonannya. Rasulullah saw berkata “jangan sekali-kali kamu marah!”
Hadis di atas kembali memberikan contoh bagi kita untuk bersabar. Bersabar bukan hanya ketika kita diberikan ujian oleh Allah, tetapi bersabar juga dapat dilakukan ketika kita menginginkan sesuatu. Sesuatu yang kita inginkan tidaklah selalu seperti yang kita bayangkan. Tidak semua yang kita inginkan dapat terwujud dengan cepat, untuk itu kita harus bersabar. Ketika kita melakukan sesuatu dengan sabar, hal yang kita lakukan dengan sabar akan menghasilkan sesuatu yang optimal. Tetapi apabila kita melakukan hal dengan tergesa-gesa maka yang kita hasilkan tidak akan seoptimal yang kita harapkan.

Macam-Macam Sabar
Syaikh Muhammad bin Shalih Al ‘Utsaimin rahimahullah berkata, “Sabar itu terbagi menjadi tiga macam:
1. Bersabar dalam menjalankan ketaatan kepada Allah
2. Bersabar untuk tidak melakukan hal-hal yang diharamkan Allah
3. Bersabar dalam menghadapi takdir-takdir Allah yang dialaminya, berupa berbagai hal yang menyakitkan dan gangguan yang timbul di luar kekuasaan manusia ataupun yang berasal dari orang lain (Syarh Tsalatsatul Ushul, hal. 24)

Sebab Meraih Kemuliaan
Di dalam Taisir Lathifil Mannaan Syaikh As Sa’di rahimahullah menyebutkan sebab-sebab untuk menggapai berbagai cita-cita yang tinggi. Beliau menyebutkan bahwa sebab terbesar untuk bisa meraih itu semua adalah iman dan amal shalih.
Di samping itu, ada sebab-sebab lain yang merupakan bagian dari kedua perkara ini. Di antaranya adalah kesabaran. Sabar adalah sebab untuk bisa mendapatkan berbagai kebaikan dan menolak berbagai keburukan. Hal ini sebagaimana diisyaratkan oleh firman Allah ta’ala, “Dan mintalah pertolongan dengan sabar dan shalat.” (QS. Al Baqarah [2]: 45).
Yaitu mintalah pertolongan kepada Allah dengan bekal sabar dan shalat dalam menangani semua urusan kalian. Begitu pula sabar menjadi sebab hamba bisa meraih kenikmatan abadi yaitu surga. Allah ta’ala berfirman kepada penduduk surga, “Keselamatan atas kalian berkat kesabaran kalian.” (QS. Ar Ra’d [13] : 24).
Allah juga berfirman, “Mereka itulah orang-orang yang dibalas dengan kedudukan-kedudukan tinggi (di surga) dengan sebab kesabaran mereka.” (QS. Al Furqaan [25] : 75).
Selain itu Allah pun menjadikan sabar dan yakin sebagai sebab untuk mencapai kedudukan tertinggi yaitu kepemimpinan dalam hal agama. Dalilnya adalah firman Allah ta’ala, “Dan Kami menjadikan di antara mereka (Bani Isra’il) para pemimpin yang memberikan petunjuk dengan titah Kami, karena mereka mau bersabar dan meyakini ayat-ayat Kami.” (QS. As Sajdah [32]: 24) (Lihat Taisir Lathifil Mannaan, hal. 375)

Sabar dan Kemenangan
Syaikh Muhammad bin Shalih Al ‘Utsaimin rahimahullah berkata, “Allah ta’ala berfirman kepada Nabi-Nya, “Dan sungguh telah didustakan para Rasul sebelummu, maka mereka pun bersabar menghadapi pendustaan terhadap mereka dan mereka juga disakiti sampai tibalah pertolongan Kami.” (QS. Al An’aam [6]: 34).
Semakin besar gangguan yang diterima niscaya semakin dekat pula datangnya kemenangan. Dan bukanlah pertolongan/kemenangan itu terbatas hanya pada saat seseorang (da’i) masih hidup saja sehingga dia bisa menyaksikan buah dakwahnya terwujud. Akan tetapi yang dimaksud pertolongan itu terkadang muncul di saat sesudah kematiannya. Yaitu ketika Allah menundukkan hati-hati umat manusia sehingga menerima dakwahnya serta berpegang teguh dengannya. Sesungguhnya hal itu termasuk pertolongan yang didapatkan oleh da’i ini meskipun dia sudah mati.
Maka wajib bagi para da’i untuk bersabar dalam melancarkan dakwahnya dan tetap konsisten dalam menjalankannya. Hendaknya dia bersabar dalam menjalani agama Allah yang sedang didakwahkannya dan juga hendaknya dia bersabar dalam menghadapi rintangan dan gangguan yang menghalangi dakwahnya. Lihatlah para Rasul shalawatullaahi wa salaamuhu ‘alaihim. Mereka juga disakiti dengan ucapan dan perbuatan sekaligus.
Allah ta’ala berfirman yang artinya, “Demikianlah, tidaklah ada seorang Rasul pun yang datang sebelum mereka melainkan mereka (kaumnya) mengatakan, ‘Dia adalah tukang sihir atau orang gila’.” (QS. Adz Dzariyaat [51]: 52). Begitu juga Allah ‘azza wa jalla berfirman, “Dan demikianlah Kami menjadikan bagi setiap Nabi ada musuh yang berasal dari kalangan orang-orang pendosa.” (QS. Al Furqaan [25]: 31). Namun, hendaknya para da’i tabah dan bersabar dalam menghadapi itu semua…” (Syarh Tsalatsatul Ushul, hal. 24


















TINJAUAN PSIKOLOGI
Sabar adalah pilar kebahagiaan seorang hamba. Dengan kesabaran itulah seorang hamba akan terjaga dari kemaksiatan, konsisten menjalankan ketaatan, dan tabah dalam menghadapi berbagai macam cobaan. Sabar juga berarti meneguhkan diri dalam menjalankan ketaatan kepada Allah, menahannya dari perbuatan maksiat kepada Allah, serta menjaganya dari perasaan dan sikap marah dalam menghadapi takdir Allah.
Contohnya sabar dalam menuntut ilmu. Betapa banyak gangguan yang harus dihadapi oleh seseorang yang berusaha menuntut ilmu. Maka dia harus bersabar untuk menahan rasa lapar, kekurangan harta, jauh dari keluarga dan tanah airnya. Sehingga dia harus bersabar dalam upaya menimba ilmu dengan cara menghadiri pengajian-pengajian, mencatat dan memperhatikan penjelasan serta mengulang-ulang pelajaran dan lain sebagainya. Belajar itu sendiri dapat diartikan sebagai proses perubahan yang relatif menetap sebagai hasil dari pengalaman.
“Ilmu itu tidak akan didapatkan dengan banyak mengistirahatkan badan”, sebagaimana tercantum dalam shahih Imam Muslim. Terkadang seseorang harus menerima gangguan dari orang-orang yang terdekat darinya, apalagi orang lain yang hubungannya jauh darinya, hanya karena kegiatannya menuntut ilmu. Tidak ada yang bisa bertahan kecuali orang-orang yang mendapatkan anugerah ketegaran dari Allah.
Berdasarkan dalam pandangan psikologi, hal ini juga berkaitan dengan emosi seseorang. Emosi adalah perasaan senang atau tidak senang yang mendalam, lebih luas dan lebih terarah. (Abdul Rahman Saleh, Psikologi Umum, hal. ) Dalam menghadapi segala macam kejadian dalam hidup ini kita harus memiliki kecerdasan emosi karena inti kemampuan pribadi dan sosial yang merupakan kunci utama keberhasilan seseorang adalah kecerdasan emosi. Bersikap sabar merupakan salah satu ciri kecerdasan emosi. Apabila seseorang mampu bersabar dalam menghadapi segala macam emosi seperti marah, benci, dan sebagainya, seseorang tersebut akan merasakan ketenangan dalam dirinya dan niscaya Allah akan meridhoi atas kesabarannya .
Sigmund Freud mengatakan bahwa dalam diri seseorang terdapat 3 sistem kepribadian, yang disebut id, ego, dan super ego. Id adalah bagian kepribadian yang menyimpan dorongan-dorongan biologis manusia. Id selalu berprinsip memenuhi kesenangannya sendiri. Sistem kepribadian yang kedua adalah ego, ego berfungsi menjembatani tuntutan-tuntutan id dengan realitas dunia luar. Sistem kepribadian yang ketiga adalah super ego, menghendaki agar dorongan-dorongan tertentu saja dari id yang direalisasikan.
JIWA KEPRIBADIAN
1. Ketidak sadaran 1. Id
2. Ambang sadar 2. Ego
3. Kesadaran 3. Super Ego
Dalam soal seks, Frued menyatakan bahwa satu-satunya hal yang mendorong kehidupan manusia dalah dorongan libido seksual. Sedangkan dalam sumber yang lain Syaikh Zaid bin Muhammad bin Hadi Al Madkhali mengatakan, “Bersabar menahan diri dari kemaksiatan kepada Allah, sehingga dia berusaha menjauhi kemaksiatan, karena bahaya dunia, alam kubur dan akhirat siap menimpanya apabila dia melakukannya. Dan tidaklah umat-umat terdahulu binasa kecuali karena disebabkan kemaksiatan mereka”. Jadi kita sebagai umat Islam harus sabar dan mampu menahan diri dari hal-hal yang bertentangan dengan agama kita.
Jadi kesabaran dalam diri manusia berperan penting dalam proses kehidupan ini, karena jika tidak adanya kesabaran seseorang akan menderita konflik batin yang terus menerus dan dapat mengganggu kepribadian orang yang bersangkutan antara lain dapat berbentuk gangguan-gangguan kejiwaan yang disebut psikoneurosis.



KESIMPULAN

Sabar adalah sikap untuk menerima apapun yang terjadi dengan keyakinan bahwa segala peristiwa itu ada hikmahnya dan segala sesuatu itu terjadi atas sepengetahuan-Nya. Sabar akan memberikan kekuatan mental untuk menghadapi berbagai permasalahan dengan sikap optimis bahwa segala permasalahan itu ada jalan keluarnya.

Kristalisasi Iman, Syukur dan Sabar dalam menghadapi permasalahan dan tekanan hidup mengejawantah dalam sikap sebagai berikut :

1. Tuhan yang memberikan bahaya dan kebaikan, tidak seorang pun dapat menghalanginya.

2. Tuhan tidak akan pernah menguji hal-hal diluar batas kemampuan kita.

3. Kemampuan yang kita miliki yang merupakan anugerah Tuhan dan sesungguhnya kemampuan yang kita miliki tersbut melebihi dari apa yang kita perkirakan.

4. Sedikit musibah/bencana adalah pencegah untuk munculnya bencana atau musibah yang lebih besar.

5. Sebuah bencana/musibah akan melatih kita untuk semakin kuat dan tabah sehingga mampu mengambil beban dan tanggung jawab yang lebih besar dikemudian hari.

6. Kita diberi rasa kecewa, cemas dan takut agar kita lebih dekat kepada-Nya.

7. Apapun yang terjadi sesungguhnya atas sepengetahuan-Nya. Itu bisa berupa ujian, musibah, petaka, atau peringatan tergantung dari bagaimana kita meresponnya.

8. Jangan pernah berputus asa dari Rahmat-Nya, berprasangka baiklah kepada-Nya. Sikap ini akan membangun enerji positif.

9. Apabila sesuatu sudah terjadi itu adalah takdir dan pasti ada hikmahnya. Hanya mereka yang beriman, syukur dan sabar yang mampu mengambil hikmah positif dari setiap peristiwa dan takdir yang terjadi.
10. Diatas segala-galanya sesungguhnya Tuhan itu Maha Pengasih lagi Maha Penyayang dan janganlah pernah berputus asa dari Rahmat-Nya. Sikap ini akan membangun ketangguhan mental dan menumbuhkan optimisme hidup.

teori-teori kebudayaan dan etnopsikiatri

A. Teori Pembawaan Manusia
1. Seksualitas anak-anak, termasuk Oedipus Complex dari Sigmund Freud
Menurut Freud perhatian seorang anak terhadap tiga daerah erotic (mulut, anal, dan genital) terjadi secara bertahap:
• Tahap oral : bagi bayi yang baru lahir, alat yang paling memberi kenikmatan adalah mulutnya sendiri.
• Tahap anal
• Tahap phallic
• Tahap genital : dimulai dari sejak 3 tahun, yaitu pada saat perhatiannya berpusat pada lingam (alat genital) sendiri, dan perhatian ini segera menimbulkan rasa birahi terhadap ibunya sendiri, dan dibarengi dengan timbulnya rasa cemburu dan benci kepada ayahnya, yang terasa sebagai saingannya terhadap cinta ibu, gejala tersebut terkenal dengan istilah Oedipus Complex.
• Tahap laten : selama periode ini seksualitas si anak boleh dikatakan “tidur” atau berhenti secara kualitatif, dan akan berlangsung terus sampai tibanya akil baligh.
2. Teori Gejala Masalah Akil Baligh (Margaret Mead)
 Menurut hasil penelitian, Mead berkesimpulan bahwa para gadis di Samoa tidak mengalami gejala akil baligh, karena keluarga orang samoa buka termasuk keluarga inti, sehingga seorang anak tidak selalu harus berhubungan terus-menerus dengankedua orangtuanya, tetapi juga mendapat kesempatan untuk berhubungan secara bebas dengan anggota kerabatnya yang lain.
 Penelitiannya di Papua, Mead berkesimpulan bahwa perbedaan sifat-sifat kepribadian atau temperamen antar laki-laki dan wanita tidak bersifat universal, karena dalam kebudayaan Arapesh tidak ada perbedaan temperamen antar laki-laki dan perempuan, keduanya mempunyai kepribadian yang halus, lembut, dan pasif. Sebaliknya pada masyarakat Mundugumor, kedua jenis kelamin mempunyai kepribadian yang kasar, keras, dan agresif seperti yang dimiliki laki-laki pada umumnya masyarakat Eropa-Amerika. Pada masyarakat Tchambuli, kaum wanita pada umumnya berkepribadian kasar, keras, dan aktif, dan melaksanakan tugas berat, sedangkan laki-laki sebaliknya.
3. Teori Pola Kebudayaan Ruth Benedict
Teori Pola Kebudayaan (Pattern of Culture) dapat juga disebut sebagai teori konfigurasi kebudayaan, teori mozaik kebudayaan, teori representation colletive, atau teori etos kebudayaan.
Teori benedict dapat diringkas sebagai berikut: “Di dalam setiap kebudayaan ada aneka ragam tipe temperamen, yang telah ditentukan oleh faktor keturunan (genetic) dan kebutuhan (konstitusi), yang timbul berulang-ulang secara universal. Namun setiap kebudayaan hanya memperbolehkan jumlah terbatas dari tipe temperamen tersebut berkembang. Dantipe-tipe temperamen tersebut hanya yang cocok dengan konfigurasi dominan. Mayoritas dari orang-orang dalam segala masyarakat akan berbuat sesuai terhadap tipe dominan dari masyarakatnya. Hal ini disebabkan karena temperamen mereka cukup plastis untuk dibentuk tenaga pencetak dari masyarakat. Ini adalah apa yang disebut tipe kepribadian normal.
Benedict berpendapat bahwa tidak ada kriteria yang shahih(valid) mengenai tipe kepribadian “normal” dan “abnormal”. Suatu kepribadian dianggap normal apabila sesuai dengan tipe kepribadian yang dominan, sedangka tipe kepribadian yang sama jika tidak sesuai dengan kepribadian yang dominan akan dianggap abnormal alias tidak normal atau penyimpangan (derivant).
4. Teori Kepribadian Ralph Linton
Kepribadian status adalah seperangkat kepribadian tipikal yang sesuai dengan status seseorang di dalam masyarakatnya. Status tersebut berkaitan dengan pekerjaannya. Seorang pribadi yang menduduki status sosial harus mengembangkan sikap dan emosi yang sesuai dan berguna bagi status tersebut.
Pribadi-pribadi yang dapat membawakan kepribadian statusnya dengan baik dan tepat, adalah orang yang penyesuaian dirinya baik.
5. Teori Kepribadian Orang Modern Alex Inkeles
Menurut ia tujuan utama pembangunan ekonomi adalah memungkinkan setiap orang untuk mencapai suatu taraf hidup yang layak. Namun pada akhirnya ide pembangunan mengharuskan adanya perubahan watak manusia—suatu perubahan yang merupakan alat untuk mencapai tujuan yang berupa pertumbuhan yang lebih lnjut lagi, dan bersamaan itu juga merupakan tujuan besar proses pembangunan itu sendiri. Perubahan watak tersebut adalah perubahan dari yang tradisional menjadi yang modern.
Apa yang dimaksud dengan manusia modern itu? Dan apa yang membuatnya modern?
o Pertama, peerubahan dari manusia yang leih tradisional menjadi manusia yang modern, seiring berarti melepaskan cara berfikir dan berperasaan.
o Kedua, sifat yang membuat seorang menjadi modern itu tidak sering tampak sebagai suatu ciri yang netral, tetapi merupakan ciri dari orang barat pada umumnya yang hendak dipaksakan pada orang lain, untuk menjadikan mereka sama seperti orang barat tersebut.
o Ketiga, tidak berguna atau cocok bagi kehidupan dan keadaan dari mereka.
Ciri khas orang modern ada dua, yaitu:
 Pertama ciri luar, mengenai lingkungan alam. Seperti;URBANISASI, PENDIDIKAN, politikasi, komunikasi massa dan industrialisasi.
 Kedua ciri dalam, yaitu mengenai sikap, nilai dan perasaan. Seorang baru dapat menjadi modern apabila telah mengalami perubahan ciri dalam, dari yang tradisional menjadi modern.


1. Pengertian Etnopsikiatri
Bermula dari pemahaman atas hubungan antara kepribadian dan kekuatan-kekuatan budaya yang berpengaruh dan membentuk kepribadian. Perhatian pertama ditujukan untuk menguji hipotesis Freud, untuk menentukan apakah Oedipus Kompleks itu bersifat universal, apakah fase-fase perkembangan oral, anal, genital, dan laten dalam sejarah kehidupan individu bersifat universal ataukah hanya terbatas pada masyarakat-masyarakat khusus. Walaupun Malinowski pada tahun 1920-an, merupakan ahli antopologi pertama yang menguji hipotesis tersebut dengan data lapangan yang besar jumlahnya, apa yang dinamakan aliran “kebudayaan dan kepribadian”—langkah pertama dari perkembangan yang kini dikenal sebagai etnopsikiatri atau psikiatri lintas-budaya, memperoleh bentuknya di Amerika Serikat.
Dalam berbagai studi dari tahun 1930-an hingga tahun 1950-an, penting untuk diingat bahwa perhatian utama peneliti bukanlah menegnai masalah kini—mengenai normal dan abnormal, definisi penyakit mental, dan sebagainya—namun lebih merupakan masalah “struktur kepribadian dasar” (menggunakan istilah Kardiner) dan “kepribadian moral” (menggunakan istilah DuBois). Istilah-istilah etnopsikiatri, psikiatri lintas budaya, dan psikiatri transkultural belumlah dikenal. Namun dari penelitian sebelum dan sesudah Perang Dunia yang dilakukan oleh Kardiner, Linton, DuBois dan lain-lainnyalah maka perhatian sekarang ini terhadap hubungan antara penyakit mental dengan kebudayaan telah timbul.

2. Definisi Budaya Tentang Normal dan Abnormal
a. Kasus “Teori Label”
Argumen yang ditemukan adalah bahwa sekali tingkah laku menyimpang diberi cap menyimpang, betapapun ringannya atau sementaranya gejala itu, akan tetap dijadikan stereotip atau stigma bagi yang bersangkutan.
Realitas dan bahaya yang timbul dari cara-cara pemberian label tersebut dideskripsikan secara mengerikan melalui suatu eksperimen yang dilakukan oleh Rosenhan. Ia bersama tujuh orang pasien semu lainnya mendaftar masuk rumag sakit jiwa yang tempatnya berbeda.
Rosenhan menyimpulkan bahwa “Suatu label psikiatri mempunyai kehidupan dan pengaruh tersendiri. Sekali terbentuk impresi bahwa pasien menderita schizoprenia, harapan orang adalah bahwa ia akan selamanya demikian.”

b. Argumentasi Terhadap Pemberian Label
Edgerton misalnya, tidak menyukai label psikiatri yang bersifat menentukan sendiri, untuk mengidentifikasikan sakit. Ia beranggapan bahwa kelompoklah, bukan cap itu yang menetapkan pengertian abnormalitas. Pengakuan dan penamaan penyakit jiwa, menurut pendapatnya, merupakan produk dari suatu proses “negosiasi”, suatu transaksi sosial yang mencakup konsensus ekstensif dalam masyarakat.

3. Etiologi-Etiologi Penyakit Jiwa Non-Barat
Berdasarkan contoh dari masyarakat Yoruba, Navaho, dan orang eskimo di Pulau St. Lawrence tersebut jelaslah bahwa etiologi dari banyak penyait jiwa dapat dipahami hanya apabila konteks sosialnya yang merupakan pencetusnya dipelajari—pengetahuan sering diperoleh melalui proses eliminasi.

4. Cara-Cara Budaya Dalam Menangani Penyakit Jiwa
 Siapa yang menyembuhkan ?
Para ahli antopologi terutama menaruh perhatian pada ciri-ciri psikologis dan sosial dari para shaman. Berasal dari bahasa Tungus, Siberia, istilah tersebut digunakan dalam arti umum tentang penyembuh yang memiliki kekuatan-kekuatan supranatural dan kontak dengan roh-roh, biasanya melalui pemilihan oleh para roh (misalnya kemasukan pertama kalinya yang menimbulkan penyakit yang gawat dan diikuti dengan penyembuhan yang lama).
 Perawatan terhadap orang yang sakit jiwa
 Tujuan perawatan
Perawatan dalam terapi Barat berkisar dari pengobatan simptomatik,dari hal-hal seperti gerakan-gerakan tics dan fobia sampai “pembongkaran besar-besaran kepribadian pasien” (J.Kennedy 1973 : 1174). Terapi barat dalam arti tertentu, adalah redukasi;pasien didorong untuk mengembangkan suatu pandangan baru tentang dirinya sendiri dengan harga diri yang lebih besar, agar ia bebas rasa sakit subjektif.
Sebaliknya,para ahli-ahli terapi non-barat sedikit sekali melakukan redukasi, memperkuat ego, dan modifikasi kepribadian. Mereka lebih pragmatis dalam pendekatannya, bertujuan untuk mendapatkan hasil yang cepat, yang berarti pengurangan atau penghapusan gejala-gejala abnormal yang dibawa pasien kepadanya.
Perbedaan lainnya adalah apabila hubungan verbal antara ahli terapi dengan pasien merupakan dasar bagi perawatan terapi barat, maka pada bagian terbesar masyarakat non-barat, banyak komunikasi verbal yang berlangsung adalah dengan roh-roh, dan bila melibatkan pasien secara langsung, komunikasi itu ditujukan kepadanya dan tidak memerlukan suatu jawaban.
Walaupun ada berbagai perbedaan dan tipuan yang oleh para pengobat barat dianggap mendasari psikoterapi non-Barat, banyak ahli antropologi dan ahli terapi barat menenmukan bahwa para shaman dan para penyembuh tradisional lainnya sering encapai hasil-hasil yang menakjubkan dalam menangani penyakit jiwa.